Solo, “The Spirit of Java” muncul sebagai ikon kota budaya telah berevolusi menjadi destinasi wisata baru. Menggabungkan antara seni,sejarah, dan pengetahuan, Solo memiliki Museum Radya Pustaka. Bangunan Radya Pustaka memang terkesan kuno, namun itulah daya tariknya, pasalnya museum ini merupakan museum tertua di Indonesia. Pertama kali masuk, Patung RonggoWarsito, sastrawan Kraton termahsyur pada abad 19, menyapa di halaman depan.
Ketika datang berkunjung, suasana pagi itu masih sepi, mungkin karena museum baru di buka, yakni pukul 08.30. Masuk ke dalam museum, alunan lagu gamelan jawa diperdengarkan kepada pengunjung,sedikit kecewa, karena tak secara live melainkan hanya melalui rekaman. Sesaat berikutnya, rasa kecewa itu berganti menjadi rasa antusiasme begitu melihat wayang, khususnya jenis wayang beber. Tak pernah sekalipun saya melihat jenis wayang ini sebelumnya. Bentuk dan cara memainkan wayang beber berbeda dengan jenis wayang lain yang biasanya dimainkan dengan digerakkan. Bahan dasarnya yang terbuat dari kertas membuat ukuran wayang ini tergolong lebar. Cara memainkannya ditunjuk seperti bertutur.
Di bagian tengah ruangan terdapat patung Kanjeng Adipati Sosroningrat IV, sang pendiri Museum ini. Awalnya museum ini hanya merupakan paheman yang didirikan pada tahun 1890 di kediamannya, Dalem Kepatihan sebagai wadah bagi pujangga atau sastrawan Kraton untuk belajar, sebelum akhirnya tahun menjadi bagian milik kraton dan bernama Radya Pustaka. Radya berarti Kraton, sedangkan Pustaka berarti perpustakaan. Lokasinya kemudian juga dipindah ke Loji Kadipolo.
Radya Pustaka memiliki koleksi bersejarah yang tak terhitung nilai historisnya. Perabot-perabot antik juga tidak luput, seperti meja dan kursi peninggalan masa Daendels atau pun alat penerangan pada zaman dulu jauh sebelum lampu teplok. Pada ruangan yang lebih dalam, terdapat koleksi keris dan senjata pada masa lalu termasuk pedang, tombak hingga meriam Lela. Untuk jenis keris, keris Bali lah yang paling mencolok karena corak dan hiasannya berbentuk mewah, memiliki ukiran-ukiran. Pedang Amangkurat II tidak lupat dari perhatian saya karena ukirannya yang lebih condong kepada ukiran Eropa khusunya Romawi kuno.
Menyusuri sudut demi sudut ruangan, saya ditemani oleh Mas Dodo sebagai tour guide. Ruangan berikutnya adalah ruang perunggu, berbagai macam koleksi berbahan dasar perunggu, utamanya adalah perhiasan bagi para dewa. Sebut saja, kelat lenganseum tertata rapi, tarif selasa, gelang, padmasana. Terdapat pula Stupika, bahan membuat cetakan arca kecil. Selain itu, ada duplak kuningan tempat menyimpan air, penduduk Jepang sendiri memanfaatkannya untuk membuat sake. Koleksi yang paling menonjol dari ruangan ini adalah serpihan relung rambut Avalokitesvara.
Menyebrang ke ruangan keramik, memang terdapat bermacam perabot indah memanjakan mata terbuat dari porselin. Koleksi cangkir, Mangkuk, Gelas, dan piring –piring ini indah menyilaukan mata.Apabila terdapat tanda crown ,bukan sekedar porselin pula,porselin ini merupakan hadiah pemberian dari kerajaan lain masa itu. Tentu ada yang paling indah yakni vas bunga warna merah pemberian Napoleon Bonaparte kepada Sultan HB keempat.
Satu set gamelan lengkap terpajang di ruang etnografika. Gamelan ini masih bisa digunakan dan justru sering digunakan agar tidak mudah rusak. Satu hal yang tak boleh terlewatkan ketika mengunjungi museum ini adalah canthik Kiai Rajamala berukuran besar di sebelah barat gamelan. Hiasan ( canthik ) kapal yang terbuat dari pohon jati hutan Donoloyo tersebut sudah ada sejak tahun 1811 zaman pemerintahan Paku Buwono IV. Fungsi utamanya adalah sebagai transportasi permaisuri PB IV untuk pulang ke Madura. Sedikit berbau ritual, Kiai Rajamala yang berwajah garang warna merah ini masih rutin diberi sesajen.
Satu Ruangan tertutup bernama perpustakaan. Ruangan ini menyimpan manuscript dari abad 17 hingga 19. Koleksi perpustakaan Radya Pustaka terdiri dari Jawa Carik ( tulis tangan ), Babad Mataram, Kawruh Empu ( buku tentang keris ), hingga buku-buku Belanda seperti De Java – Oorlog Van 1825 – 1830, Babad Tanah Jawi Pararaton ( Ken Arok ), buku-buku pembuatan keris, peta dan naskah kuno lain yang masih terawat dengan baik. Pengunjung diperbolehkan membaca nakah-naskah kuno di sini, terkecuali untuk yang telah berum 50 hingga 100 tahun ke atas, rentan rusak. Koleksi manuscript di sini bahkan mencapai puluhan ribu, menurut ibu Yanti, staff perpustakaan.
Membutuhkan waktu yang cukup lama bagi saya untuk bisa menikmati seluruh koleksi museum. Tanpa saya sadari pula bahwa sudah dua jam lamanya namun pengunjung museum hanya segelintir orang. Menanggapi pertanyaan saya, Mas Dodo menerangkan bahwa jumlah pengunjung tidak bisa ditebak, terkadang bisa datang banyak sekali terutama rombongan wisata dari sekolah atau universitas, bahkan turis. Bergantung pada hari juga, Sabtu-Minggu biasanya lumayan ramai. Tetapi ia juga mengakui kalau untuk pengunjung individu terlepas dari rombongan memang sedikit.
Banyaknya koleksi museum memang harus benar-benar dijaga dan dirawat agar tetap bertahan. Radya pustaka setiap tanggal ulang tahun museum melakukan mises ringgit, khususnya untuk mencuci keris dan wayang. Barang-barang dari perunggu memerlukan perhatian khusus untuk merawat bahkan mendatangkan ahli khusus. Cukup membahayakan juga bagi pengunjung untuk memegang setelah koleksi dibersihkan karena pembersihannya melibatkan cairan kimia.
Menikmati dan melihat berbagai macam koleksi di museum ini membuat saya terpukau akan kehebatan sejarah. Serasa melakukan perjalan masa lampau dengan mesin waktu. Dengan hanya membayar 5ribu rupiah, kita bisa merasakan setiap kisah masa lampau, dengan keindaahan nilai seni, keunikan, dan historis, serta tambahan pengetahuan di museum Radya Pustaka. Anda bisa berkunjung ke museum ini setiap hari terkecuali hari senin, konvensi museum internasional telah menetapkan sebagai hari libur museum.
http://www.youtube.com/watch?v=eJjTz_hz_FY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H