Mohon tunggu...
anita putri
anita putri Mohon Tunggu... Musisi - swasta

seorang yang sangat menyukai musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Damai untuk Pemilu Tahun Depan

18 Oktober 2018   06:52 Diperbarui: 18 Oktober 2018   07:15 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak terasa beberapa bulan lagi kita menghadapi  lima pemilihan yaitu pemilu legislative tingkat Nasional, Tingkat Provinsi dan tingkat kabupaten, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) baru Pemilihan Presiden (Pilpres) . Sehingga harusnya kita juga mulai mengkritisi siapa saja wakil kita  untuk nasional, tingkat 1, tingkat 2 dan DPD.  Pilpres adalah satu bagian kecil dari Pemilu tahun depan.

Tapi yang hiruk pikuk sekarang ini malah Pilpres. Sangat gaduh mengalahkan empat Pemilu lainnya. Kegaduhan ini diakui atau tidak merupakan perpanjangan dari Pilpres pada tahun 2014, dimana pos Presdien ditinggalkan oleh Susilo Bambang Yudoyono dan saat itu Partai democrat yang merupakan partai milik SBY bersikap netral alias tidak menyodorkan atau tidak mendukung salah satu pasangan calon.

Saat itu ada dua kubu yang maju yaitu kubu Gerindra --PKS-Golkar dan beberapa partai lainnya yang menjagokan Prabowo dan kubu PDIP-PKB, Nasdem yang menjagokan Joko widodo yang sebelumnya merupakan Gubernur Jakarta dan Walikota Solo. 

Sebelumnya nPrabowo pernah berduet dengan Megawati pada 2009 dan kalah. Sedangkan Jokowi pada tahun 2014 itu belum pernah mengajukan sebagai Presiden.

Masa kampanye PIlpres kala itu cukup fenomenal karena berlangsung sangat tajam dan melibatkan media sosial. Pada pemilu 2009, medsos belum sepenuhnya dimanfatkan sebagai alat kampanye. Karena media sosial bersifat bebas, artinya tidak ada sensor secara professional, maka ujaran-ujaran yang timbul seringkali bersifat memojokkan, tajam bahkan mejatuhkan pihak lawan.

Ujaran-ujaran yang terlontar kadang juga jauh dari kesopanan. Mereka memakai berbagai teknik kampanye untuk menjatuhkan lawan. Baik black campaign maupun negative campaign. Dalam ranah politik, negative campign diperbolehkan tapi black campaign biasanya dihindari atau tidak diperbolehkan karena bisa  jadi mengandung unsur fitnah.

Di tahun itulah banyak pihak melakukan campaign yang nyaris tanpa kendali dalam hal narasi. Lontaran kebencian, saling menghina dan merendahkan menjadi hal yang terlihat lumrah dalam kampanye kala itu. Sebaliknya kampanye yang menyuarakan prestasi dan hal positif menjadi tenggelam dibawah ujaran-ujaran fitnah dengan kata-kata tak sopan.

Jokowi akhirnya keluar sebagai pemenang dan menjadi  Presiden ke tujuh. Selisih dari Prabowo memang tak banyak tapi Jokowi seperti menyihir banyak pihak dengan keluguan , gesture yang sangat sederhana.

Kini lima tahun setelah 2014, kita menghadapi pemiliu yang nyaris sama. Calonnya sama yaitu Prabowo dan Jokowi. Hanya saja wakilnya berbeda. Partai utama pengusungnya nyaris sama, meski ada beberapa partai bergeser. Golkar misalnya.

Ujaran ujaran kebencian mulai menjadi kata lumrah di linimasa saat ini. Perpecahan dan saling menjauh antar saudara dan teman. Memutuskan sillaturahmi.

Semakin tua umur bangsa ini seharusnya kita banyak belajar tentang demokrasi. Makna kemerdekaan  dan bagaimana mengisinya. Juga makna perbedaan yang memang menjadi  cirri khas kita sebagai bangsa yang mungkin tidak ditemukan di bangsa lain. Kita juga harus belajar kembali soal kedamaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun