Seberapa Optimis Kita Berdemokrasi?

Apakah demokrasi kita sudah semakin membaik, setidaknya jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya?  Pertanyaan ini terlampau klasik rasanya,  sehingga memaksa kita selalu menjawabnya dengan skeptis: "ah tidak! "

Pertanyaan lainnya,  benarkah demokrasi kita bahkan berjalan mundur,  terperosok ke dalam pusaran bernama oligarki?

Setiap kita tentu punya prasangka berbeda-beda.  Semua tergantung pada variabel apa yang kita pakai untuk menakar demokratisasi. 

Ada yang melihat dengan sangat prosedural yakni kesuksesan kita menghelat Pemilu demi Pemilu.  Sebagian lagi mungkin melihat demokrasi di Indonesia gagal karena tidak berdampak pada kesejahteraan.  Ada pula yang menilai demokrasi dari seberapa inklusif proses-proses politik yang ada termasuk dalam hal penyelenggaraan negara. 

Apa pun penilaian kita,  upaya bersama membangun demokrasi subtantif adalah pilihan.  Yang pesimis dan melontarkan kritik pedas sesungguhnya karena mereka adalah komunitas yang penuh harapan.  

Inilah nilai positif yang terjaga selama puluhan tahun, sehingga beragam cobaan dan dinamika dalam bernusa bangsa kita justru terlewati tanpa harus bersimbah darah. 

Konflik-konflik berbau SARA dan ideologi memang pernah ada,  tetapi dalam sekejap dapat terselesaikan atas nama semangat kesatuan dan komitmen berbhinneka tunggal ika. 

Sebagai sebuah bangsa yang terus menyulam benang demokrasinya,  kita selalu bersetia pada harapan dan impian.  

Kita adalah bangsa yang optimis.  Kelak,  republik ini bahkan menjelma sebagai percontohan berdemokrasi.  Tentu,  dengan kekhasan membangun demokrasi tanpa mengeliminasi kebudayaan otentik yang sekian lama berkembang dengan model-model komunalisme-nya. 

Sejarah membuktikan betapa  tegarnya kita berdemokrasi.  Selama dua dekade pasca reformasi 1998, ketegaran rakyat Indonesia terpancar tegas pada kerelaannya merawat akal sehat menyambut Pemilu dengan suka cita. 

Barangkali,  tak ada bangsa serupa kita.  Dibohongi selama lima tahun sehingga tergerus dalam penderitaan,  lalu optimis dan amnesia saat kembali mengadu harapan di bilik suara.   Kita boleh menghukum politikus yang ingkar janji,  tetapi  kita adalah bangsa yang patuh pada konstitusi.