Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayu

29 April 2019   17:23 Diperbarui: 29 April 2019   18:08 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay

Aku pernah mengalami ini di masa lampau. Sekali, dua kali, berkali-kali. Dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun. Sakit? Tentu saja. Bahkan teramat sakit. Kelemahanku membuatku terpuruk, hanya bisa diam, menangis dan memaafkan.


Barangkali ini cerita yang hampir sama. Meski ada sedikit beda. Tiada air mata. Itu saja! Dan sayangnya ini jauh lebih membuatku menderita. Sebab nyatanya keadaan ini memang lebih memilukan dari yang lalu-lalu.


"Kau kenapa? Akhir-akhir ini kau lebih banyak diam, Gi," sebuah tanya terlontar dari lelaki yang kini tengah bersamaku. Dan itu kau, Bayu.


"Aku tidak tahu, mungkin aku hanya butuh ketenangan," jawabku lirih.


"Ketenangan?"


Aku tersenyum getir. Berkali berusaha mencoba mengingat kapan terakhir kali aku tersenyum tulus, juga menangis. Segalanya hambar, tak berasa.


Di antara kesiur angin, kucoba pejam mata. Mencari makna dari segala nyata yang ada. Jika kisah-kisah yang kulalu adalah layaknya dedaun kering yang kemudian harus pergi menghilang diterpa angin, maka biarlah.


Aku cukup tangguh untuk sendiri menyesapi sepi. Bertikar rumput hijau, menghadap padang ilalang yang menari-nari. Mereka seperti melambai ke arahku, dalam suara sunyi lalu berseru, 'bertemanlah dengan kami, menarilah bersama.'


Sementara kau Bayu, hanya nyata yang kuanggap maya. Aku sunyi. Terlalu sunyi.


"Sebenarnya kau kenapa? Kenapa harus sediam ini?"


"Tidak. Aku tidak apa-apa. Aku benar-benar hanya butuh ketenangan saat ini. Tidak ada lagi selain itu," aku tersenyum hambar.


"Kau tidak perlu mengingat segala yang membuatmu sakit, Gi," balasmu.


Kosong. Mungkin sudah puluhan kali aku mendengar kata-kata seperti itu. Tidak hanya darimu, Bayu. Tapi juga dari mereka. Lalu apa aku mau mendengarkan? Ya, tapi tidak kulakukan. Sebodoh inikah aku?


Lagi, aku hanya ingin menikmati kesiur angin. Hanya ia ketenangan, hanya ia!


"Lalu apa yang kau harapkan sekarang?" Tanyamu lagi.


"Harapan? Apa aku punya harapan?"


"Harus! Dengan harapan kau akan lebih hidup!"


Apa aku tak hidup? Aku hidup! Lihatlah, aku masih bernafas. Aku masih bisa melihat dedaun yang menari-nari. Merasakan kehangatan sang mentari.


Diam. Hanya diam. Kapan bisa aku lontarkan, segala inginku, marahku, bahagiaku. Entah sejak kapan, aku merasa mengungkapkan semua itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Siapa yang akan mendengar?


"Kenapa kau terus bicara padaku?" Tanyaku sedikit emosi.


"Kenapa? Kau masih tanya kenapa? Sekarang aku tanya padamu, kenapa kau tidak pernah mau melihatku? Heh!"


Kembali kurangkai senyum getir. Menatap lekat wajah seorang pria yang sekian lama ini bersedia mendengar segala keluhku, mendengar rajukku, mendengar kebodohanku.


Wajah tegas, tubuh tinggi tegap, tidak kurus juga tidak gemuk, kulit sedikit gelap, sorot mata tajam. Dia tidak tampan, juga tidak jelek. Dia istimewa. Tapi bukan olehku.


"Lihatlah, aku tengah menatapmu sekarang. Lalu apa lagi?"


"Bukan itu maksudku, tapi..."


"Tapi apa? Kau itu siapa? Selalu saja mengatur kehidupanku!"


Aku berdiri, mencoba beranjak pergi. Kesiur angin masih menemani. Mengibarkan rok panjangku ke sana kemari.


Aku benci, aku benci entah pada siapa. Andai kau mengerti? Siapa yang ingin aku seperti ini!


"Anggita!"


Langkahku terhenti. Kau mencegatku. Mencengkeram erat pergelangan tanganku.


Sementara semilir angin masih terus mendayu-dayu. Masih terus menyibak-nyibak rok panjang juga hijabku.


"Aku Bayu. Kau tak mau melihatku? Kau bilang kau suka angin karena mereka menyejukkanmu, menenangkanmu."


"Apa maksudmu? Hanya karena namamu Bayu lantas kau ingin aku menganggapmu angin? Menganggapmu sesuatu yang setiap hari mampu menenangkan pikiranku?" Aku menepis cengkeramanmu.


Sunyi. Kata-kata seolah pergi. Segalanya tercekat di tenggorokan. Kata-kata yang ingin sekali kuucap. Cukup hanya itukah yang harus kuungkap?


"Kenapa? Kenapa, Gi?"


Tanyamu sedikit merobohkan pertahananku. Aku tersesak, menahan bulir bening yang hampir tertumpah ruah. Segalanya seolah kembali tersibak, setelah cukup lama aku memendam dan mencoba melupakan, hari ini aku harus kembali diingatkan. Pada lara-lara yang menjalar. Pada luka-luka yang kemudian pada akhirnya tidak akan mampu lagi kubalut. Ia akan menampakkan diri, mengeluarkan darah dan nanah. Meski barangkali setelahnya aku kembali pulih, tapi bekasnya tetap ada. Ada dan tak kan pernah musnah.


"Aku mencintaimu, Gi. Kau berulang kali mendengar aku mengatakan ini tapi kau selalu hanya menganggap segalanya sebagai lelucon," ucapmu.


Di matamu, aku melihat ketulusan. Aku melihat kejujuran, kesungguhan. Tapi justru inilah yang membuatku tak ingin menatapmu, membalasmu.


"Kau tidak akan pernah bisa mengerti alasanku?" Suaraku melirih, tak hendak membiarkan genangan air mata tertumpah ruah.


"Apa? Apa alasanmu? Karena kau mencintai laki-laki keparat itu? Heh!!!" Suaramu memecah.


"Tutup mulutmu!" Balasku memperingatkan.


Pertahananku runtuh. Aku benar-benar tak bisa membendungnya lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Berteriak, meronta sepuas yang kubisa. Tak peduli di hadapanku ada siapa.


Dadaku memanas. Bahkan desir angin pun tak mampu mendinginkan. Sekalipun keberadaan mentari kini sudah mulai hendak menepi.


"Anggita."


Kudengar kau memanggilku lirih. Barangkali tak percaya melihat aku mendadak menggila.


"Aku kotor, Bayu. Aku kotor," ucapku dalam isak.


Aku masih tak henti. Masih meronta dalam tangis. Masih terbelit pada sesak di dada.


"Kotor?"


Senyap. Barangkali ribuan tanya menyeruak. Atau bahkan ada amarah yang memuncak. Siapa peduli?


Ribuan kali angin menerpa, tapi masih tetap sama. Panas di dada tak jua mereda.
Aku sudah cukup lama membungkam suara. Untuk apa? Jika pada akhirnya semua akan terlihat, terungkap.


"Kau tidak perlu memintaku lagi. Tidak perlu," ucapku lirih.


Tangisku sedikit mereda. Kuseka buliran air mata yang membasahi wajahku. Berusaha sekuat mungkin untuk menegarkan diri.


"Aku harus mengatakan ini padamu. Ya, aku harus mengatakannya," suaraku berubah gugup. Entah harus kumulai dengan cara bagaimana.


"Apa? Apa yang ingin kau katakan, Gi?"
Tanyamu barangkali sedikit membuatku memiliki keyakinan untuk mengatakan segalanya.


"Aku..., Aku hamil."


Aku menunduk, tangisku kembali membuncah. Dadaku berguncang hebat.


"Selama 4 bulan ini, aku menutupi semuanya. Karena Bara, dia sudah akan menikahi wanita lain."


Dadaku semakin berguncang hebat. Percuma. Kupaksa hentikan tangis pun tetap tak bisa. Aku semakin sekarat, sebab pengakuan-pengakuan yang pada akhirnya tak bisa kucegat.


Kau  Bayu, melihat kediamanmu aku tahu, ada ribuan bahkan jutaan kekecewaan yang kini menerpa di dadamu. Pada wanita yang kau anggap lugu, lucu, pemalu, akhirnya kau temukan bahwa ia benar-benar kelabu.


Kau Bayu, memang tak pernah bosan menyejukkanku. Tak pernah bosan mencipta dingin-dingin pada setiap hawa panasku. Tapi tetap saja, kobaran bara yang menerpa sudah berhasil menghanguskan segalanya. Segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun