Sunyi. Kata-kata seolah pergi. Segalanya tercekat di tenggorokan. Kata-kata yang ingin sekali kuucap. Cukup hanya itukah yang harus kuungkap?
"Kenapa? Kenapa, Gi?"
Tanyamu sedikit merobohkan pertahananku. Aku tersesak, menahan bulir bening yang hampir tertumpah ruah. Segalanya seolah kembali tersibak, setelah cukup lama aku memendam dan mencoba melupakan, hari ini aku harus kembali diingatkan. Pada lara-lara yang menjalar. Pada luka-luka yang kemudian pada akhirnya tidak akan mampu lagi kubalut. Ia akan menampakkan diri, mengeluarkan darah dan nanah. Meski barangkali setelahnya aku kembali pulih, tapi bekasnya tetap ada. Ada dan tak kan pernah musnah.
"Aku mencintaimu, Gi. Kau berulang kali mendengar aku mengatakan ini tapi kau selalu hanya menganggap segalanya sebagai lelucon," ucapmu.
Di matamu, aku melihat ketulusan. Aku melihat kejujuran, kesungguhan. Tapi justru inilah yang membuatku tak ingin menatapmu, membalasmu.
"Kau tidak akan pernah bisa mengerti alasanku?" Suaraku melirih, tak hendak membiarkan genangan air mata tertumpah ruah.
"Apa? Apa alasanmu? Karena kau mencintai laki-laki keparat itu? Heh!!!" Suaramu memecah.
"Tutup mulutmu!" Balasku memperingatkan.
Pertahananku runtuh. Aku benar-benar tak bisa membendungnya lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Berteriak, meronta sepuas yang kubisa. Tak peduli di hadapanku ada siapa.
Dadaku memanas. Bahkan desir angin pun tak mampu mendinginkan. Sekalipun keberadaan mentari kini sudah mulai hendak menepi.
"Anggita."