"Kau tidak perlu mengingat segala yang membuatmu sakit, Gi," balasmu.
Kosong. Mungkin sudah puluhan kali aku mendengar kata-kata seperti itu. Tidak hanya darimu, Bayu. Tapi juga dari mereka. Lalu apa aku mau mendengarkan? Ya, tapi tidak kulakukan. Sebodoh inikah aku?
Lagi, aku hanya ingin menikmati kesiur angin. Hanya ia ketenangan, hanya ia!
"Lalu apa yang kau harapkan sekarang?" Tanyamu lagi.
"Harapan? Apa aku punya harapan?"
"Harus! Dengan harapan kau akan lebih hidup!"
Apa aku tak hidup? Aku hidup! Lihatlah, aku masih bernafas. Aku masih bisa melihat dedaun yang menari-nari. Merasakan kehangatan sang mentari.
Diam. Hanya diam. Kapan bisa aku lontarkan, segala inginku, marahku, bahagiaku. Entah sejak kapan, aku merasa mengungkapkan semua itu hanyalah sebuah kesia-siaan. Siapa yang akan mendengar?
"Kenapa kau terus bicara padaku?" Tanyaku sedikit emosi.
"Kenapa? Kau masih tanya kenapa? Sekarang aku tanya padamu, kenapa kau tidak pernah mau melihatku? Heh!"
Kembali kurangkai senyum getir. Menatap lekat wajah seorang pria yang sekian lama ini bersedia mendengar segala keluhku, mendengar rajukku, mendengar kebodohanku.