Mohon tunggu...
Ani Siti Rohani
Ani Siti Rohani Mohon Tunggu... Buruh - Perempuan penikmat sunyi

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Mutiara

29 Maret 2019   22:06 Diperbarui: 29 Maret 2019   22:13 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : Pixabay

Mutiara itu berkilau indah. Bukan hanya mereka yang terpana menatapnya. Aku pun juga. Tapi tidak untuk pertama kalinya. Sebab mataku selalu enggan memperhatikan yang ada di sekelilingku. Aku lebih suka berkutat, sibuk dengan pikiranku sendiri.
"Jadi sudah berapa juz yang kau hafal?" tanyanya.
"Juz? Aku bahkan hanya hafal surat-surat pendek saja," jawabku tertunduk sedih dan malu.
Seperti ada yang menohok hatiku. Tanpa sadar bulir bening menetes di pipi. Sudah berapa tahun usiaku? Sudah berapa banyak ilmu yang kudapat? Sedikit. Sangat sedikit. Sebab waktuku, kuhabiskan dengan hal-hal yang tak berguna. Sama sekali tidak berguna. Dan aku baru mulai memperbaikinya beberapa waktu yang lalu. Belum terhitung dalam bilangan tahun. Aku benar-benar baru memulainya saat tiba-tiba hatiku tersentuh oleh suatu keindahan. Bukan keindahan mutiara itu. Bukan. Aku belum menemukannya waktu itu.
"Lalu bagaimana jika ada yang menanyakan hal itu lagi selain aku?" tanyanya lagi.
"Ya aku jawab saja aku hanya hafal surat-surat pendek ...,"
"Tapi insya Allah akan dan sedang dalam proses menghafal," lanjutnya memotong kata-kataku. Aku menatapnya sekilas. Lantas segera menundukkan pandanganku.
Aku hanya seekor ulat yang sedang berusaha untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Meski entah apa aku bisa. Masa laluku penuh dosa. 
Aku melangkahkan kakiku. Berjalan menyusuri waktu demi waktu. Merenungi, meresapi dari apa yang sudah terjadi. Sesekali aku menangis secara tiba-tiba. Hanya karena mengingat masa laluku yang jauh sekali dari cahaya.
"Itu bagaimana sih programnya? Aku takut tidak bisa," ucapku sedikit khawatir.
"Itu gampang. Tinggal masuk terowongan, terus ke gorong-gorong," balasnya.
"Kakak!" protesku.
Lelaki itu berlari pergi. Tak menghiraukan sama sekali kekhawatiranku. Lelaki aneh yang entah, aku tak bisa mendefinisikannya. Terkadang rasa jengkel menyelinap setiap kali dia bicara ngawur di tengah kekhawatiran atau kesedihanku. Tapi seringnya setelahnya aku tersenyum sendiri mengingat kekonyolan yang kerap dia lontarkan.
Mutiara itu masih menampakkan kilaunya padaku. Mutiara yang sempat tergenggam sekejap olehku. Mutiara yang kemudian aku lepaskan begitu saja dari genggaman. Sebab ketidakmengertian, sebab kekhawatiran, sebab ketidakpercayaan, sebab ketidakpercayadirianku. 
"Mas Faris. Aku melupakannya," ujarnya.
"Maksud Kakak apa?" tanyaku.
"Kau menyukainya bukan?" balasnya berbalik tanya padaku.
"Ya, aku menyukainya. Tidak seperti Kakak. Saat ini aku hanya menyukainya tanpa pakai Kakak atau siapa pun," balasku menyindirnya.
"Maksudmu tanpa pakai Kakak?" tanyanya tak mengerti ucapanku.
"Maksudku saat ini aku hanya menyukainya, tidak seperti Kakak yang menyukaiku, menyukainya, menyukai mereka," balasku menjelaskan.
Seketika raut wajahnya berubah sendu. Aku tahu dia tersinggung dengan ucapanku. Tapi memang benar begitulah adanya. Lebih baik jujur daripada aku berpura-pura selalu menganggapnya paling baik.
"Kau benar. Aku memang begitu. Aku mudah tertarik dengan wanita. Tapi denganmu itu berbeda," balasnya berusaha meyakinkanku.
Langit bertabur bintang, menghias indah di malam yang kelam. Aku mencari rembulan yang sinarnya barangkali mampu menuntunku ke arah kebenaran. Aku terus menelusuri jalan mencari jawaban. Sesekali hatiku seperti menolak tapi di lain sisi aku seperti tak hendak membiarkan sebuah mutiara yang terpampang di depan mataku kuretakkan begitu saja. Hingga akhirnya kuputuskan mutiara itu kugenggam di antara jemariku yang jauh dari kata lentik.
Hanya sejenak kurasa nikmat,  kuambil keputusan yang kemudian membuatku sekarat. Aku memilih minggat. Minggat dari hati yang tak layak kudapat.
Ada kebingungan dalam wajahnya. Seperti hendak melepas namun tak berani membuatku menjadi merasa terhempas. Tapi ini juga pilihanku. Aku berkali bertatap cermin mencoba mencari makna yang tersembunyi di balik misteri hati yang tak mampu kupahami. Ini ujian. Demikian kudapat  jawaban. Aku harus pergi dan kembali fokus pada niat awalku untuk belajar bermetamorfosis seperti kupu-kupu. Tak boleh ada yang mengganggu ketenanganku selama aku masih dalam bentuk kepompong. Atau bahkan justru masih dalam bentuk ulat. Aku masih dalam proses. Seindah apa pun mutiara itu, aku tetap harus mencegahnya memberikan kemilau cahayanya untukku. Sebab waktu masih belum mampu menjamah harap yang sudah ia rangkai bersamaku.
"Ada apa? Apa kau memberitahu mereka semua tentang kita?"
"Tidak. Justru aku yang ingin tanya bagaimana mereka bisa tahu?"
"Alah bilang saja ia. Ngomong begitu kan gampang."
"Terserah mau percaya padaku atau tidak. Maaf."
Aku meninggalkannya dalam perih tangisku. Tersebab apa sehingga ia menuduhku seperti itu. Bukankah aku selama ini sudah cukup bungkam? Kilau mutiara itu mendadak tak nampak.
Aku menikmati waktuku. Berusaha menikmati meski hatiku sempat tergores oleh serpihan mutiara yang sedikit retak. Mutiara itu sudah mulai tak nampak. Sudah benar tak lagi nampak berkilau di antara ribuan mata memandang. Ia berhasil menyembunyikan kilau itu dari khalayak ramai. Mutiara itu terlihat semakin berharga. Sebab ia tak lagi mengumbar pesona.
"Mas Faris masih belum memberi kepastian padamu?"
"Mas Faris sudah membicarakannya padaku. Dia masih ingin tetap tinggal dan meneruskan mimpinya."
"Gunakan waktumu untuk memperbaiki diri."
Suara itu kemudian menghilang. Ada kebekuan yang datang mengubah kecairan yang ada sekian lama ini. Mungkin sebab kemarin. Ketika aku berani meretakkan mutiara yang biasanya berkilau indah itu. Bahkan kilaunya  nyaris dengan sempurna ia berhasil sembunyikan.

***


"Hai jelek."
"Apa? Kakak juga jelek."
Mutiara itu, dia tetiba kembali berkilau. Mutiara yang sempat tergenggam olehku sebelum akhirnya kembali kulepaskan dari genggaman. Ia berkilau dengan kilau yang berbeda. Tak lagi sebening dulu. Tak lagi seindah dulu. Kilaunya tersembunyi di balik kebisuan yang ia paksakan. 
Mutiara itu, ia adalah harta tersembunyiku. Yang pesonanya semakin memancar, menyebar memenuhi relung hatiku. Sadar tak sadar pengabaianku menyiksa diriku sendiri secara perlahan. Meski senyum selalu kutampakkan, namun pengharapan yang terlambat datang kian memporakporanda ketenangan.
Biarkanlah, tak mengapa. Jika aku hanya mampu memandang kilau itu dari kejauhan. Sedekat apa pun kenyataannya. Tetap harus kuanggap jauh dari hadapan. Sebab harap tanpa kepastian hanya akan menggerogoti ketenangan secara perlahan.
Ia mutiaraku. Mutiara tersembunyi yang tak lagi bisa kugenggam. Sebab ia tak pantas kumiliki. Sebab ia terlalu indah jika hanya tergenggam dalam jemariku yang sama sekali tak berhias keindahan.
Bagiku, kilaunya yang masih tetap mau ia tunjukkan padaku meski dalam kilau yang berbeda sudah cukup membuat hatiku semarak. 
Dan kau mutiaraku, tetaplah seperti itu. Menjadi 'Larva' yang setiap hari menggelitikku dengan senda guraumu. Aku tak mau lagi kau tampak sebagai mutiara, cukup hanya seekor larva.

Taipei, Juni 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun