Zaman semakin maju dan berkembang. Dunia semakin cepat berubah, tidak adanya pilihan yang lain selain terus belajar dan siap beradaptasi dengan melakukan inovasi. Digitalisasi membawa perubahan besar dalam aspek kehidupan, termasuk dalam sistem perpajakan di Indonesia. Ditjen pajak mencatat penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital sebesar 33,56 triliun hingga 28 Februari 2025 dengan sumbangan terbesar dari pemungutan PPN PMSE sebesar 26,18 triliun (bisnis.com, 2025). Selain itu, lebih dari 94% pelaporan SPT tahunan kini dilakukan secara digital melalui aplikasi online yang tersedia (beritasatu.com, 2025). Meskipun banyaknya kemudahan yang hadir, masih terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi. Menurut survei dari Ditjen Pajak bahwa 6 dari 10 pelajar SMK belum memahami penggunaan aplikasi perpajakan digital (beritasatu.com, 2025). Dan tingkat literasi di Indonesia sebesar 60%, sementara rata-rata negara ASEAN lainnya tingkat literasi digitalnya mencapai 70% (ahlulbaitindonesia, 2022). Dari hal tersebut literasi orang Indonesia masih tergolong sangat rendah.
Transformasi Administrasi Perpajakan
Digitalisasi adalah inovasi baru yang diberikan oleh pemerintah dan Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan target penerimaan pajak bagi negara dan memberikan pelayanan  perpajakan  dengan lebih  mudah  dan  efisien  melalui  layanan online. Digitalisasi pajak hadir dengan berbagai macam inovasi, yang dulunya masih mengantre dikantor pajak, membawa berkas yang menumpuk, mengisi formulir dengan tulis tangan, hingga bolak-balik ke kantor pajak karena adanya berkas yang belum terpenuhi. Namun saat ini, pembayaran atau pelaporan pajak bisa dari manapun dan kapanpun sehingga hemat biaya, waktu hingga energi. Inovasi ini sesuai dengan karakter Generasi muda yang terbiasa dengan kecepatan dan kemudahan.
Peran Generasi Muda dalam Mewujudkan Indonesia Emas 2045Â
Visi Indonesia Emas 2045 menjadi gagasan yang kerap dikumandangkan oleh banyak orang. Terdapat harapan bahwa Indonesia akan mencapai puncak kejayaan terutama dalam bidang ekonomi karena pada masa itu Indonesia akan memiliki penduduk dengan pendapatan menengah sebanyak 80%. Dalam menghadapi lonjakan jumlah populasi dimasa depan, meningkatkan literasi pajak menjadi langkah yang efektif untuk menciptakan sumber daya manusia dengan rentang usia bekerja yang berkualitas. Namun, dalam upaya untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas, kita tidak menyerahkan semua tugas tersebut kepada pemerintah. Diperlukan adanya kesadaran pribadi untuk memperbaiki pola pikiran dan pola perilaku dengan tetap berlandaskan pada prinsip bela negara dan kecintaan terhadap bangsa. Sikap ini penting untuk dimiliki oleh generasi muda, karena mereka yang akan mengisi peran-peran dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam sektor pemerintahan dimasa mendatang.
Siapakah Generasi Muda itu?
Generasi muda khususnya generasi Z adalah kelompok yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Pada tahun 2025, mereka berusia 13 hingga 28 tahun. Usia tersebut merupakan masa produktif awal hingga puncak, di mana mereka akan memasuki dunia kerja, membangun karier, serta mulai memiliki penghasilan sendiri. Kondisi tersebut menjadikan mereka sebagai target dalam perluasan basis pajak, sekaligus mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2025 Usia 15-19 tahun sejumlah 22.095,7 jiwa, usia 20-24 tahun sejumlah 22.160,6 dan usia 25-29 tahun sejumlah 22.514,2 jiwa (BPS, 2025). Angka itu menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Indonesia dari golongan generasi Z cukup tinggi. Dengan jumlah tersebut, mereka memiliki potensi yang signifikan untuk menjadi motor penggerak transformasi ekonomi, termasuk dalam mendukung optimalisasi penerimaan negara melalui literasi pajak digital.
Lalu Apa Yang Menjadi Tantangan Transformasi Digital?
Salah satu tantangan utama dalam transformasi digital perpajakan adalah masih rendahnya tingkat pengetahuan / pemahaman masyarakat. Dari studi yang dilakukan LSI bahwa sekitar 50% responden memahami akan pajak beserta manfaatnya dan sebanyak 49% lebih responden mengaku kurang atau tidak paham mengenai pajak dan manfaatnya (kompasiana.com, 2024). Berdasarkan hasil studi tersebut literasi wajib pajak di Indonesia tergolong rendah, banyak wajib pajak yang masih gagap teknologi, bahkan kesulitan memahami istilah-istilah dalam aplikasi perpajakan. Hal ini menjadikan masyarakat memilih untuk tetap mengandalkan cara lama atau bahkan menunda kewajiban pajaknya. Rendahnya literasi juga diperparah dengan adanya kesenjangan akses teknologi, terutama di daerah-daerah yang infrastruktur digitalnya belum merata.
Mengapa Literasi Perpajakan Penting?
Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam memahami, mengolah, dan menggunakan informasi. Sedangkan Literasi pajak adalah pemahaman individu mengenai apa itu pajak, fungsi pajak, manfaat pajak dan cara-cara memenuhi kewajiban pajak dengan benar. Literasi pajak sangat penting karena pertama, pajak adalah sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai semua kebutuhan negara, sehingga pemahaman generasi muda tentang pajak akan menjamin keberlanjutan penerimaan di masa mendatang. Kedua, di era digital hampir semua layanan perpajakan sudah berbasis teknologi sehingga literasi digital menjadi kunci utama agar masyarakat, khususnya generasi muda, bisa memanfaatkannya dengan mudah, cepat, dan aman. Ketiga, literasi perpajakan digital juga dapat membentuk kesadaran bahwa membayar pajak bukan sekedar kewajiban, melainkan kontribusi nyata sebagai warga negara yang peduli terhadap bangsa.
Dari Tantangan Tersebut, Apa Solusinya?
Menurut penulis solusi yang tepat untuk menghadapi tantangan rendahnya literasi wajib pajak yaitu dengan memanfaatkan media sosial sebagai sarana edukasi. Karena generasi muda, khususnya Gen Z sangat akrab dengan media sosial. Penyampaian materi perpajakan dapat dilakukan melalui platform digital seperti TikTok, Youtube,  atau Instagram akan mudah diterima oleh Gen Z. Konten dengan video singkat berupa cerita sederhana atau animasi tentang pajak, hal ini akan lebih muda dipahami, tidak terlihat membosankan dan penyampaian materi berbasis digital juga lebih cepat menyebar. Solusi lain yaitu pemerintah dapat berkolaborasi dengan konten kreator, influencer atau tokoh publik yang memiliki kedekatan dengan audiens muda juga dapat meningkatkan daya tarik pesan literasi. Dapat juga dibuat dengan lebih interaktif, misalnya dengan kuis, tantangan  atau diskusi secara online, sehingga tidak hanya menonton dan mendengarkan, tetapi ikut terlibat secara aktif dalam proses belajar. Selain dengan media sosial, Solusi lain adalah dengan memasukkan materi perpajakan ke dalam kurikulum pendidikan di tingkat SMA/SMK/MA. Langkah ini penting karena sekolah merupakan wadah formal yang bisa membekali siswa dengan pengetahuan dasar sebelum mereka benar-benar terjun untuk menjadi wajib pajak di masa mendatang. Jika sejak dini generasi muda sudah memahami pajak, dengan adanya dukungan teknologi yang memudahkan, generasi ini dapat menjadi pelopor kepatuhan pembayaran dan pelaporan pajak. Partisipasi mereka bukan sekedar memenuhi kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga menjadi wujud nyata dalam menciptakan Indonesia yang mandiri secara fiskal dan mampu bersaing di era global.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI