Mohon tunggu...
Anindya Putri Damayanti
Anindya Putri Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Seorang mahasiswi aktif yang senang membaca buku dan menulis cerpen.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membaca Novel Amelia karya Tere Liye Anak Bungsu sebagai Penunggu Rumah? Benarkah Begitu?

21 Desember 2023   15:25 Diperbarui: 21 Desember 2023   15:31 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tere Liye yang memiliki nama asli Darwis lahir pada 21 Mei 1979,  beliau mulai menerbitkan karya pertamanya pada tahun 2005 melalui novel Hafalan Shalat Delisa dan menerbitkan banyak buku terkenal lainnya seperti Bumi, Matahari, dan Bulan. Pada esai ini penulis akan membahas suatu buku berjudul Amelia yang terbit pada bulan Oktober tahun 2013. Novel ini secara singkat menceritakan tentang Amelia si anak bungsu yang berada di pedesaan yang di mana desa tersebut mempunyai tradisi lisan bahwa jika ia sudah besar nanti akan menjadi penunggu rumah untuk menjaga orang tuanya. Akan tetapi, Amelia berusaha untuk mematahkan anggapan tersebut bahwa anak bungsu pun berhak untuk menjelajahi dunia luar. Dengan latar suasana di daerah pedesaan, banyak sekali pelajaran hidup yang bisa diambil dari novel ini.

Definisi keluarga menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 1988 adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul, tinggal bersama dan saling ketergantungan (Wiratri, 2018). Biasanya di dalam suatu keluarga tersebut ada Ayah sebagai kepala keluarga, Ibu, dan anak. Menurut novel Amelia jika dalam keluarga tersebut mempunyai anak lebih dari satu, maka anak terakhirlah yang akan menjadi penunggu rumah untuk menjaga kedua orang tuanya di kala tua nanti. Hal ini masih menjadi perdebatan hingga sekarang, banyak orang termasuk anak bungsu sendiri berpendapat bahwa tidak hanya mereka yang bisa menjadi penunggu rumah, anak sulung maupun anak tengah pun bisa.

Isu ini menarik untuk dibahas karena sampai saat ini masih ada stigma di masyarakat bahwa anak bungsu akan menjadi penunggu rumah. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa anak bungsu itu memiliki tingkat kemandirian yang rendah dikarenakan faktor keluarga yang cenderung menuruti apapun keinginan anak bungsunya, berbeda dengan anak sulung yang dituntut untuk berusaha dahulu untuk mendapatkan apa yang dia mau. Sujanto (2009) pun mengemukakan bahwa anak bungsu begitu disayang dan menerima begitu banyak perhatian, bantuan, dan hiburan dari orang tua dan kakak-kakaknya sehingga ia mempunyai kehidupan yang penuh kegembiraan, terpenuhi segala kebutuhannya, dan sama sekali tidak merasa kesulitan.

Ada pula pendapat bahwa anak bungsu memiliki rasa tanggung jawab yang rendah dikarenakan mereka tidak mendapat tuntutan atau ekspektasi untuk sukses atau apapun dari orang tua, karena biasanya ekspektasi tersebut telah dibebankan pada anak sulung mereka. Hal ini sependapat dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (2003) anak bungsu memiliki hubungan sosial yang baik di luar dan biasanya disukai, tetapi jarang yang mampu menjadi pemimpin karena kurangnya kemauan untuk mengambil tanggung jawab.

Sebelum membahas lebih lanjut hal apa yang dilakukan Amelia sehingga bisa mematahkan tradisi lisan 'Sang Penunggu Rumah' seperti anak bungsu pada umumnya Amelia ini bersifat cengeng, namun dibalik sifatnya tersebut ia adalah gadis pemberani yang berani berpetualang menjelajahi desanya bersama paman kesayangannya, ia juga berani untuk mengutarakan pendapat yang ia punya. Di saat orang-orang tidak yakin kalau mereka bisa melakukan suatu hal, Amelia hadir untuk meyakinkan mereka semua bahwa mereka bisa berhasil. Hal itu pun ia terapkan pada dirinya sendiri, saat orang lain menganggap remeh ia bisa meninggalkan label penunggu rumah, ia membuktikannya dengan belajar yang rajin sehingga bisa menggapai mimpi yang dicita-citakan.

Tidak afdal rasanya bila kita tidak mengenali tempat Amelia bertumbuh dewasa. Amelia lahir di daerah pedesaan yang masih asri dan dikelilingi tumbuhan-tumbuhan besar yang khas dari desa tersebut. Beruntungnya ia memiliki paman bernama Paman Unus yang bersedia mengajak Amelia menjelajahi hutan tersebut untuk memberi pengetahuan secara langsung mengenai hutan di daerah pedesaan mereka. Di dalam hutan tersebut ada hal yang sangat menarik perhatian bagi Amelia yaitu pohon kopi yang tumbuh subur dan memiliki kualitas yang sangat bagus. Namun, sayang sekali pada saat itu belum ada orang-orang ahli yang mampu membudidayakan pohon kopi tersebut dan teknologi untuk mengolahnya menjadi produk unggulan dari desa tersebut.

Selain alamnya yang luar biasa, ada tradisi lisan yang secara turun-temurun diwariskan, bahwasannya kepada anak bungsu mereka dituntut untuk tetap tinggal di desa jika sudah besar nanti. Masyarakat di sana beranggapan apabila seluruh anaknya pergi merantau, maka siapa yang akan menjaga dan merawat mereka di masa tua nanti? Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang tokoh dalam novel tersebut yang bernama Maya, ia merupakan teman dekat Amelia "Aku anak bungsu, Amel. Anak perempuan pula. Nasibku menjadi 'penunggu rumah'. Bapak dan Ibu di rumah sudah bilang, aku tidak bisa sekolah tinggi atau pergi jauh-jauh. Lagipula mereka tidak punya uang untuk itu semua". Di sisi lain kakak ketiga Amelia yaitu Burlian sering mengejeknya dengan berkata "Kau tidak usah ikut kami bermain, Amel. Kau ditakdirkan untuk menunggu rumah" Hal tersebut lah yang sempat membuat Amelia ragu untuk menentukan cita-citanya di masa depan.

Selain itu ada alasan mendasar mengapa bisa muncul tradisi lisan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Wak Yati 

"Coba kau bayangkan, Miesje. Jika seluruh anak-anak pintar seperti Kak Eli, Burlian, Pukat dan juga kau memilih pergi ke kota? Siapa yang akan membuat kampung ini maju? Membuat penduduknya lebih makmur? . . . Nah, kenapa harus anak bungsu? Karena biasanya anak paling bungsulah yang paling dekat secara emosional dengan orang tua" Meskipun begitu Wak Yati lah yang selalu bertanya "Kau besok lusa mau jadi apa Amel?"

Amelia tergolong anak yang beruntung karena ia lahir dari pasangan yang memiliki pikiran terbuka. Kedua orang tuanya sangat membebaskan seluruh anaknya untuk pergi merantau, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan menjelajahi dunia dengan ilmu yang mereka punya. Mamak pun mengatakan hal seperti ini "Tidak akan ada yang menahan anak bungsu Mamak. Kau pergilah, Amel. Jangan pikirkan hal-hal yang tidak perlu kau pikirkan. Doa Mamak menyertaimu, Nak." Selain beliau, Amelia didukung sepenuhnya juga oleh Wak Yati yang berusaha meyakinkan bahwa anak bungsu pun boleh mempunyai cita-cita dan pergi merantau jauh 

". . . jangan terlalu kau pikirkan tradisi itu. Kau pikirkan saja besok lusa kau akan menjadi apa, Amel. Mulai pikirkan sekarang. Tegakkan pohon cita-cita kau setinggi mungkin. Jangan ragu-ragu, langit adalah batasnya. Siapa pun bisa menggapai mimpinya jika bersungguh-sungguh. Termasuk anak-anak yang berasal dari kampung di lembah terpencil sekalipun."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun