Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Alhamdulillah, Saya Masih "Miskin"

19 Februari 2021   05:34 Diperbarui: 23 Februari 2021   02:58 2995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senja sore kemarin, awan pekat pun deras hujan menutupi langit kota asal suami saya lahir. Yang kemudian menjadi tempat bermukim. Pujon gulita. Tanpa cahaya jingga, kecuali bohlam-bohlam yang memancar dari beberapa rumah penduduk.

Rebah berselimut menjadi alternatif paling menyenangkan, sambil menatap beberapa sudut dalam rumah yang tergenang air. Bocor di mana-mana, ember panci merupakan piranti wajib penampung tetesan hujan. Agar tak mengalir ke lantai.

Entah berapa liter yang akan mampu ditampung. "Semoga cukup", doa jangka pendek yang saya panjatkan.

Jangka panjang? Tentu punya biaya manggil tukang untuk memperbaiki genteng atau apa saja yang menjadi penyebab bocor.

Alhamdulillah, secara finansial saya masih miskin, hingga menyelamatkan kebocoran dari rumah saja saya tidak mampu. Namun saya tetap bersyukur, kalau ada yang bocor berarti saya punya tempat berteduh, dibanding mereka yang ngemper, hidup di kolong jembatan.

Ah, lupakan. Bicara tentang kekurangan tak kan ada habisnya. Keluh itu biasa, makanya saya berucap Alhamdulillah untuk segala keadaan, tersusah sekalipun. Karena satu hal, nikmat bernapas masih saya miliki. Memberi saya kesempatan bertaubat, sebelum ajal menjemput dan saya tak bisa berucap hamdalah lagi lewat mulut ini.

Miskin, begitu kata orang-orang yang strata hidupnya jauh di atas untuk keadaan saya. Meski saya tidak mengakui, kalau dikategorikan demikian oleh para terhormat itu, tak mungkin saya mengelak. 

Nyatanya begitu. Rumah numpang mertua, baju itu-itu saja. Makanan sehari-hari ya ukuran rakyat jelata, yang penting ada nasi, sama kecap saja jadi. Kendaraan sepeda butut tua peninggalan suami. Tidak ada yang bisa dianggap sepadan bahkan bila disandingkan sosialita kelas RT saja.

Soal gelar pendidikan apalagi. Tidak panjang. Saya cuma S.Ag. Tidak ada Doktor apalagi profesor.

Jadi ketika di sore yang muram kemarin ada seseorang mengkonfrontasi saya tentang kapabilitas menjadi ketua sebuah lembaga di Kabupaten saya, Malang. Ya wajar. Saya legowo, tidak ada ganjalan atau minder berkepanjangan.

Mengingat di pengurusan sebelumnya, jabatan pengurus dan ketua dijabat oleh orang-orang terhormat. Beragam gelar, S2 dan S3 dengan posisi jabatan menyeramkan di masing-masing institusi asalnya. Dan tentu, mereka seleb di lingkungannya. Pokoknya memenuhi syarat dihormati. Kaya, intelek, terpandang.

Penunjukan saya sebagai ketua level Kabupaten oleh Ketua Propinsi tentu menggundahkan. Kok orang seperti itu sih. Sudah gelarnya cuma S 1, miskin lagi.

Terbukti ada ucapan," Oh, sampean tho, yang tukang jualan keliling, yang pernah jadi Kepala TK desa dan sekarang cuma guru SMP swasta."

Kekagetan nyata di nadanya saat saya berusaha memberi penjelasan segamblang mungkin ketika dia menanyakan identitas saya. Dia satu daerah dengan saya. Tentu mengenal betul sepak terjang keberadaan saya. Tak ingin menutupi saya mengiyakan seluruh konfirmasinya.

Ya, saya masih "miskin". Secara ilmu, secara amal dan tentu saja finansial. Untuk itu saya terus bergerak memperkaya otak, menambah jumlah amal, agar bisa masuk bagian dari kaya ilmu serta berusaha berbuat untuk kemaslahatan.

Secara finansial? Bila disandingkan dengan beliau-beliau yang bermobil tentu kalah jauh. Miskin betul saya, tidak layak bergaul dengan para sosialita harum rupawan tersebut. Namun jika dibanding mereka yang kekurangan, saya bersyukur, meski miskin tidak sampai jadi peminta-minta.

Strata sosial yang saya miliki memang seringkali memantik kecurigaan. Masuk dalam lingkaran orang kaya, sering disangka mau memanfaatkan. Entah mau cari pinjaman atau minta pekerjaan, kalau tak boleh saya katakan ngemis minta diberi uang.

Padahal bagi saya meski miskin, masalah uang menjadi sesuatu yang paling saya hindari dalam pergaulan. Baju saya murahan biar, tunggangan saya jelek tak mengapa, terpenting saya tidak menjadi parasit. Diri ini sudah rendahan, tak mau lagi lebih merendahkan diri membicarakan uang, baik meminta atau berhutang.

Saya percaya, kaya dan miskin adalah garis Tuhan. Makanya saya tak terlalu fokus ingin keluar dari sebutan zona tersebut. Toh miskin punya banyak keuntungan. Bukankah nanti di hari perhitungan, saya tak perlu repot menjawab sekian banyak pertanyaan malaikat atas harta yang saya miliki dan pergunakan?

Menjadi orang kaya siapa yang tak ingin. Namun mengusahakan dengan cara tak wajar, malu hati diri ini. Makanya saya tidak risau dengan kondisi. Bersedia menerima, hayuk silahkan. Tidak juga tidak apa-apa.

Hidup itu pilihan kata orang. Saya memilih jujur dengan kemiskinan ini dan membiarkan orang lain menentukan pula pilihan mereka apakah mau atau tidak dekat dengan saya. Kalau dianggap bisa jadi nilai setitik maka saya pun tak keberatan hengkang sebelum didepak dengan memalukan.

Kembali ke posisi jabatan pucuk pimpinan. Rupanya, ajuan pertimbangan mundur saya ke ketua propinsi dianggap tidak relevan. Baik gelar maupun maupun status sosial dianggap bukan ganjalan. Masih bersedia menerima rancangan program yang saya ajukan dengan ujung kegiatan literasi. Membaca keadaan lalu menuliskannya agar abadi, memberi manfaat meski penulis mati.

Karena literasi bagi saya tidaklah sebatas pada kegiatan membaca, menulis dan bergumul dengan buku. Tetapi lebih luas lagi. Apapun kegiatan bahkan yang tidak ada hubungannya dengan "baca tulis" menjadi potensi menggerakkan minat literasi. Tidak perlu syarat kaya untuk menjadi pembaca pun penulis.

Lakukan kegiatan, lihat yang dihadapan, simak dengan pendengaran. Catat, catat. Menulis apa saja yang terlintas, ide atau gagasan atas peristiwa yang kita alami dan rasakan. Abadikan dalam artikel atau naskah. Upload. Terbitkan. Agar bisa menjadi referensi kita sendiri juga orang lain ketika akan mengambil tindakan, melaksanakan kegiatan serupa.

Misal ketika menemukan sosok pelaku umkm di sebuah daerah yang nasibnya mengenaskan. Saya akan tulis dia, keberadaanya, kemampuannya, pun produk yang dimiliki. Saya tahu yang mereka rasakan, karena saya adalah mereka. Jadi tahu betul bagaimana menulis rasanya jadi mereka.

Dari tulisan itu saya berharap, setidaknya ada doa untuk mereka, sukur bila ada yang rela membantu dengan tindakan. Membeli, membukakan peluang atau memberi suntikan modal.

Atau ketika saya sedang melintasi daerah kumuh, melihat potensi menghasilkan uang dari mengelola sampah, maka tak segan saya turun, menjadi relawan mendirikan bank sampah. Toh saya bagian dari mereka, pasti tak jijik memilah, memilih sampah. Lalu saya tulis aksi ini.

Tulisan tersebut lalu saya share ke petugas lapangan DLH. Berharap pendampingan cara mengelola yang benar. Agar kaum miskin seperti saya bisa mempunyai peluang sumber penghasilan lain. Menabung sampah, karena uang jarang digenggam. Dengan efek positif, lingkungan menjadi bersih dan nyaman meski diberi stempel miskin yang selama ini akrab dengan kekumuhan.

Pagi ini saya buka jendela dengan lamat sapa mentari, akan cerah rupanya. Kidung buram senja kemarin tak berlanjut hingga merisaukan. Alhamdulillah saya masih "miskin".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun