Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membahagiakan 2 Janda Lewat Komoditas Usaha 500-an

31 Desember 2020   08:16 Diperbarui: 31 Desember 2020   08:24 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosis gulung pangsit 500 an/dokpri

Menjadi single parent bukanlah impian dimanapun perempuan ketika menikah. Pasti hidup terus didampingi belahan nyawa dan buah cinta dalam biduk rumah tangga  diinginkan oleh semua pasangan.

Namun bila terpilih mendapat predikat itu, siapa yang mampu melawan? Sandang status sebagai janda menjadi keniscayaan. Memperjuangkan hidup untuk dirinya sendiri pun orang yang dicintai. Anak atau orang tua peninggalan menjadi satu-satunya alasan tetap bertahan di kerasnya kehidupan.

Itu yang saya rasakan saat suami berpulang. Berjuang untuk nyawa-nyawa yang ditinggalkan. Sehingga ketika ada yang mengalami hal serupa seperti saya, keinginan berbuat sesuatu, berbagi, memberi, menyantuni untuknya dan keluarga menjadi dorongan kuat.

 Agar dia, perempuan yang mengalami nasib seperti saya, bisa lolos dari jerat permasalahan kehidupan. Terutama dari sisi ekonomi. Setidaknya bisa membantu mengepulkan dapur setiap hari, untuk makan anak-anak yang tetiba menjadi yatim itu kini.

Saya bukan orang kaya yang bisa menyantuni setiap hari untuk menyubsidi kehidupan orang dengan nasib seperti itu. Saya hanyalah perempuan biasa yang ketika ditinggal pergi suami harus menyusuri jalanan, menjajakan makanan ke seluruh penjuru kampung desa sebagai bekal modal meneruskan nafas ini.

Pekerjaan sebagai guru swasta, seperti yang tertera dalam KTP tidak berani saya andalkan untuk kelangsungan hidup diri dan nyawa yang ditinggalkan suami di rumahnya. Dengan honor sebesar 600 ribuan perbulan, sungguh tidak mungkin bagi saya menghidupi 2 orang anak dan 1 ibu mertua untuk makan sehari-hari.

Apa yang bisa saya lakukan dengan uang 20 ribu perhari? Untuk makan saja "mungkin" bisa mencukupi, beras 1 kilo seharga Rp.10.000, tanak di magic com. Lauk tempe dan tahu Rp.5000, sayuran Rp.5000. Pas, sehari Rp.20.000. Akan tetapi, menjadikan lauk dan sayur itu untuk hidangan butuh gas, minyak goreng dan bumbu-bumbu. Sehingga sah, Rp.20.000 itu tidak cukup untuk makan 4 jiwa sehari.

Berjualan dengan laba langsung menjadi pilihan paling memungkinkan agar saya dan anak-anak bisa makan. Mulanya  menjual kerupuk nasi bikinan emak mertua, harga 1000 an per plastik, titip ke warung. Harus menunggu hingga barang laku baru bisa mendapat uang. Ini menggusarkan, saya butuh uang cash setiap hari.

Putar otak, krupuk-krupuk itu langsung saya jual ke konsumen. Mendatangi rumah-rumah tetangga agar mau membeli krupuk saya. Satu biji, dua biji krupuk laku, sampai habis 50 biji. Cukup untuk membeli kebutuhan dapur menjadikan bahan mentah menjadi siap hidang di meja makan.

Membuat krupuk itu butuh proses paling tidak 2 hari bila cuaca panas dan bisa satu minggu bila hujan seperti sekarag ini. Sehingga tidak bisa saya andalkan sebagai komoditas jualan setiap hari. Akhirnya emak mertua yang memang pandai memasak, membuat gorengan. Weci, tempe pun tahu isi. Bersyukur, lewat 3 macam dagangan itu saya bisa terus berjualan setiap hari.

Berangkat pagi buta lepas subuh, pulang setengah 7 pagi, bersiap mengajar ke sekolah. Lalu melanjutkan lagi berjualan keliling pulang sekolah. Sampai tiba asar dan saya harus mengajar anak tetangga membaca Al-qur an.

Dagangan titipan tetangga/dokpri
Dagangan titipan tetangga/dokpri

Kebiasaan saya  menjual rupanya dilirik tetangga, tawaran menjajakan produk kue basah mereka datang, saya terima. Toh saya memang butuh barang untuk dijual. Mengandalkan gorengan emak tidak baik juga. Emak sudah tua, tenaganya tidak bisa terus dikejar target menggorengkan, kasihan.

Menjadi penjual makanan keliling titipan tetangga itu minim resiko, kalau tidak laku bisa kembali akan tetapi kalau tidak habis saya juga tidak mendapat keuntungan. Untuk itu dagangan yang saya ambil juga tidak banyak. Sesuai yang biasanya laku saja. Penitip senang dagangan habis, saya juga senang dapat laba meskipun tidak sebanyak kalau menjual dagangan sendiri.

Hari berganti, sudah ada 5 orang tetangga yang biasa titip dagangan pada saya. Syukurlah, sering habis daripada sisa. Hingga suatu hari datang satu perempuan tua tetangga yang juga ingin titip dagangan. Gorengan, sama dengan jenis dagangan orang-orang yang titip ke saya.

Suaminya baru saja meninggal, menantu lelakinya juga menyusul 3 hari sesudah kematian suaminya itu. Padahal, biasanya sang  suami juga menantu adalah tulang punggung utama keluarga. Kesedihan menggayuti, ada 3 yatim di rumahnya. Tertua  lelaki baru lulus SMA, ingin kuliah tapi tak ada biaya, kini menjadi penjual keping VCD di pasar tradisional. Yang kedua perempuan. Masih kelas 5 SD, sedangkan terkecil lelaki, masih belum genap 4 tahun.

 Ibu dari 3 anak itu, yang merupakan anak dari perempuan yang datang ke rumah saya,  biasa memberi les di rumahnya. Awalnya mengajar di lembaga pendidikan autis, namun karena repot membagi waktu saat si kecil lahir, dia resign demi merawat si kecil. Tidak ada penghasilan yang bisa diandalkan dari keluarga yang baru saja kehilangan 2 lelaki penting di rumahnya itu.

Maka ketika perempuan tetangga yang akan menitipkan dagangan itu datang, saya tak bisa menolak. Memikirkan dagangan yang saya miliki sudah banyak item, berpikir ulang jadinya. Apa mungkin saya bawa? Kalau sama jenis tidak mungkin, itu bisa menjadi pesaing orang yang lebih dahulu titip pada saya.

Harga jual kue basah dan gorengan saya berkisar 1000 sampai 1500. Sering kerepotan memberi kembalian 500 rupiah. Inilah yang menjadi dasar pemikiran mencarikan jenis kue yang bisa dijual 500 an. Supaya bisa menjadi alternatif pelanggan untuk susuk yang 500 perak itu.

Bisa dijual 500, bahan mudah, rasa tidak perlu pengolahan menyulitkan. Terpenting laku jual, terutama yang digemari anak-anak. Itu yang menjadi kriteria menentukan jenis dagangan yang akan saya bawa dari perempuan tetangga tadi. Sebab, pelanggan saya mayoritas ibu-ibu yang selalu berpikir membelikan untuk anak disamping untuk suami.

Setelah berpikir keras, saya temukan ide jenis dagangan. Belum ada yang membuat, bisa dijual 500 an, digemari anak-anak.

Produk itu berbahan dasar sosis. Dilandasi pemikiran bahwa sosis digemari anak-anak. Per biji mentah harga jual biasanya 1000 rupiah. Itu bisa diiris dijadikan 4. Kalau dijual tanpa diolah tentu terlihat kecil, maka saya coba menggulung dengan kulit pangsit, harga perbiji sekitar 50 rupiah. Dalam pikiran saya ini kalau dijual 500 an sudah mendapat untung.

Berbagi ide ini pada perempuan itu, sepakat. Saya belikan bahan-bahan pembuatan, langsung per pak, tidak bijian. Selisih sekitar 30 persen dari harga per biji. Ini keuntungan tersendiri.

Uji coba kami lakukan bersama di rumahnya. Rasanya enak karena sosis tanpa diapa-apakan juga sudah enak, apalagi ini sebelum dijadikan isi dicelup adonan telur dan daun bawang dahulu, mirip martabak.

 Hitung punya hitung, ada laba yang bisa dia peroleh dengan model begitu. Sosis bisa dibelah lagi jadi 6, mix isian lain yang bahannya mudah dan murah. Cucu-cucu yatimnya yang mencoba juga pada suka. Jadilah sosis gulung kulit pangsit ini menjadi komoditas utama.

Pisang coklat/dokpri
Pisang coklat/dokpri

Hari pertama dia titip, saya minta 30 biji saja, tandas habis. Hari berikutnya saya mampu menjual 100 biji perhari dari 2 jenis dagangan yang dia titipkan. Selain sosis gulung pangsit, dia juga membuat pisang coklat dibalur kulit pangsit. 500 an juga.

Barang yang selalu habis membuatnya suka. Meski laba belum bisa menutupi kebutuhan sehari-hari tetapi dia sudah punya bayangan bisa menghasilkan uang.

Supaya bisa menghasilkan lebih banyak, saya anjurkan dia untuk menitipkan di warung-warung. Tidak banyak-banyak. Sedikit saja meminimalkan resiko tidak habis, misal 20 biji per warung. Itu kalau dititipkan ke 10 warung saja, keuntungan minimal 20 ribu akan dia dapat.

Tidak selalu habis, itu memang resiko berjualan. Khusus untuknya saya selalu upayakan membantu. Misal tidak habis saya kelilingkan lagi, menawarkan di lain tempat dengan harga pokok atau rugipun tak apa. Kalau dimakan sendiri bosan juga soalnya, kekadang saya memberi, berbagi kepada murid-murid TPQ di tempat saya. Yang penting habis. Toh saya sudah mendapat laba dari penjualan hari itu.

Kini, perempuan itu sudah bisa tersenyum lega. Bisa mengepulkan dapur untuk bisa memberi makan para yatim yang ada di rumahnya. Dibantu anak perempuannya yang menjadi ibu dari para yatim itu, mereka bahu-membahu bekerja. 2 janda itu mengupayakan agar terus bisa berproduksi, sebagai mata pencaharian baru yang sangat disyukuri mampu menghidupi.

Sayapun, bahagia pula mendapati hal ini. Tidak ada lagi beban menyesakkan karena tak bisa berbuat apa-apa. Sosis gulung 500 an memang kecil nilainya. Tapi sudah mampu membuat keluarga 2 janda itu sumringah, dapurnya bisa mengepul, tak lagi pusing memikirkan rengekan perut untuk anak-anak yatim di rumahnya.

Agfa, selalu suka bila diberi susu/dokpri
Agfa, selalu suka bila diberi susu/dokpri
"Nanti beli susu ya Mbah."

Begitu si kecil Agfa berkata tiap neneknya menerima uang hasil penjualan dari saya. Tangis ini tak terbendung berurai mengiringi anggukan berhias senyum. Sedih mengingat nasibnya, senang bisa membuatnya bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun