Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seni Tersenyum Saat Merawat Orangtua Uzur

11 Juni 2020   18:27 Diperbarui: 14 Juni 2020   21:48 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: DragonImages via Kompas.com)

Menjadi anak yang diberi kesempatan merawat orangtua hingga usia senja lalu mengantarnya menutup mata adalah anugerah. Itu yang berlaku bagi saya beberapa tahun terakhir hingga kini.

Ada bahagia saya rasakan ketika bersama mereka. Terlebih ketika permintaan paling menjijikkan bagi sebagian orang bisa sukses saya lakukan. Semisal -maaf- menangani BAB atau hal lain yang berhubungan dengan pembuangan.

Jangankan hanya menangani pembuangan, tidur berdampingan -kelon- dengan mereka yang sepuh udzur saya tidak keberatan.

"Kamu kok betah tidur bareng Nenek, pesing tu pipisnya."

Celetuk salah satu kerabat saya ketika tahu kebiasaan menemani nenek tidur itu.

Tidak menyangka dia akan berkomentar demikian. Dalam pikiran saya hanya ingin menjaga agar nenek tidak terjatuh. Maka saya tidur di sisinya. Toh kasurnya cukup lebar. Kalau tidak, saya ya milih tidur di kursi. Menjaganya.


Tentang pesing, itu tidak saya masalahkan. Namanya sudah tua ya pasti pesing pipisnya. Beda sama balita. Dulu nenek begitu telaten membersihkan kotoran saya ketika dulu masih kecil dirawatnya.

Ingat betul betapa saya dulu meski sudah TK suka ngompol. Lalu nenek dengan telaten membawa saya ke kamar mandi mengganti baju saya, membersihkan alas tidur kami untuk melanjutkan bermimpi. Dia memeluk hangat hingga adzan subuh memanggil. Mengajak wudhu dan sholat subuh ke musholla dekat rumah.

Pengalaman bertahun diasuh nenek begitu tampak nyata di pelupuk mata, ingin sekali membalas segala yang pernah dia lakukan pada saya. 

Satu hal yang tidak bisa saya lakukan ketika dia sehat. Dia perkasa, tidak mau merepotkan sesiapa. Mandiri untuk hal terkecil sekalipun. Bahkan dia selalu membantu pekerjaan kakak yang ikut hidup menempati rumahnya.

Baru ketika dia sakit parah, tidak bisa berjalan, kesempatan itu datang. Tidak mungkin saya abaikan. Maka meskipun rumah tinggal saya lumayan jauh, sekitar 1 jam dari rumah nenek saya selalu datang untuknya sepulang kerja.

Membalas perlakuan sayang nenek, juga bercermin atas kemungkinan saya ketika tua bisa saja demikian. Meski tidak ingin, bisa terjadi bukan. Who knows. Siapa yang tahu masa depan kita nanti bagaimana?

Tua, sehat, bahagia, itu harapan. Tetapi kalau diberi sakit tua siapa yang bisa menolak? Itu yang termaktub di pikiran saya.

Itulah sebabnya saya jawab begini pada kerabat saya itu. " Gak papa mbak, masih lamaan nenek ngurusi pesing saya dibanding saya merawat nenek."

Dia tersenyum."Yo wes lakno rumaten sing apik mbahmu. Wayahe mbales iki." Ya sudah kalau begitu rawatlah nenekmu, kesempatanmu membalas ini.

Berdamai dengan keadaan sakit nenek membuat saya terbiasa menghadapi segala ketidaknyamanan yang diakibatkan sakitnya. Bukan hanya membersihkan diri dan tempatnya tetapi juga atas penurunan indera yang lainnya. Berkurang pendengaran, juga lemah tubuh akibat usia yang hampir menyentuh perkiraan 1 abad.

Menyuapi karena tangannya lemah, membantunya duduk, menggaruk atau memijiti anggota badannya yang dia keluhkan sakit. Maklum, tidur terus di ranjang tentu membuatnya gelisah. Saya hanya membantunya merasa sedikit nyaman itu saja. Melupakan sejenak kondisi lemah yang dimiliki agar tetap semangat bernafas.

Senyumnya, tawanya dengan gigi ompong itulah hal lain yang saya nanti. Menggodanya menceritakan masa selalu membuat matanya berbinar. Tentang pertemuan dengan kakek, masa remajanya saat jaman belanda dulu hingga bahagianya dia mempunyai cucu pertama. Semua itu bisa runtut dinarasi dan deskripsikan dengan baik.

Agak mengherankan dengan kondisi "pikun" yang disematkan orang padanya sekarang. 

"Mbahmu wes pikun. Ora ruh dino. Isuk sholat isyak bengi subuhan." Nenekmu sudah pikun. Tidak tahu hari. Pagi sholat isyak, malam sholat subuh.

Itu yang dikatakan tetangga ketika saya memutuskan untuk selalu datang menemani. Mulanya saya dapati hal itu.

"Sampean sinten, dugi pundi?" Kamu siapa, dari mana? Sapaan menjadi pembuka pada siapa saja yang datang menjenguk.

Mulanya saya menganggap itu bagian dari kepikunan. Tetapi ketika lambat hari dia familiar dengan kehadiran saya dan tak lagi bertanya. Ini bukanlah pikun dalam arti yang sesungguhnya.

Hidupnya di dalam kamar, interaksi hanya dengan penghuni rumah, manalah tahu dia kondisi luar rumah, apalagi rupa tetangga yang jarang bertemu. Berkurang ingatan, saya mafhum itu. Juga tak mengenal siang malam. Maka satu hal yang bisa membuat saya tersenyum bahagia adalah ketika sukses menjelaskan padanya kondisi yang dihadapi.

" Sekarang waktunya sholat isyak, belum subuh."

" Itu tadi bulek Ti, istrinya Lek No."

Manggut - manggutnya dia adalah sesuatu. Senyumnya kala sadar akan keleliruan itulah yang saya nantikan. Yes, berhasil! Itu yang tertera di pikiran saya. Membuat dia berhasil memahami situasi, merupa keberhasilan lain yang menghasilkan kebahagiaan.

Sangat suka jika si mbah merasa bisa memahami yang dia hadapi dan mestinya dia lakukan.

" Yo wes lakno aku tak sembayang Isya'." Ya sudah kalau begitu saya akan sholat Isya'

" Eee Ti bojone No tah." E, ternyata Ti istrinya No.

Untuk selanjutnya dia bisa berkomunikasi wajar sesuai dengan keadaan.

Kebahagiaan tersendiri buat saya. Ada rasa keindahan tetiba sulit digambarkan memenuhi ruang rasa. Menemukan seni dalam senyumnya.

Menarik saya tersenyum pula. Inilah seni tersenyum itu. Melihat nenek tersenyum itu sesuatu banget. Betul tidak ada gigi, tapi rona wajah ceria meski keriput memenuhi muka memantulkan suka.

Hal lain yang sangat saya suka darinya adalah ketika mendengar dia bercerita masa lalu, saat kecilnya. Dengan penggambaran desa jaman dahulu. Tidak ada mobil, baju kebaya, seperti yang dia kenakan zaman kini. Meski begitu si mbah tetap lincah menerobos pepohonan di kebun rimbun.

Menjajakan hasil kebun. Kacang panjang juga labu siam. Lalu digoda sinyo Belanda, anak pemilik loji nan tampan. Pada bagian itu senyum si mbah menjadi lebar. Terkekeh. Matanya menerawang, seolah kejadian itu baru saja terjadi.

Imajinasi saya mencatat. Ini seru di fiksikan. Menjadi ide selanjutnya menulis cerpen atau novel. Berlatar belakang masa penjajahan. Saya tidak mengalami memang. Tetapi mendengar cerita nenek, cukup bagi kembara imaji ini menangkap maksud kejadian.

Maka, itulah yang membuat hati ini begemirincing indah. Saling berbagi senyum, lepas tertawa. Lalu apa lagi yang disusahkan orang ketika merawat orang tua udzur?

Ajak tersenyum, maka akan bisa dinikmati rona bahagianya. Kita pun tertular juga, meski tetiba bening menggenang di dua bola mata saya. Akankah saya bisa tersenyum hingga seudzur nenek?

Ngroto, 11/06/2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun