"Menulis di Kompasiana itu mudah, tinggal bikin akun lalu login, jadi deh!"
Begitu yang selalu saya katakan kepada orang ketika saya sedang kampanye menulis, melalui forum baik WhatsApp grup maupun bertatap muka. Secara pribadi sering pula saya sampaikan tentang betapa mudah dan menyenangkan bisa posting tulisan di Kompasiana.
Kata-kata saya itu ternyata mengandung resiko. Banyak orang yang bertanya step by step cara menjadi kompasianer. Sebab ternyata butuh waktu juga mendampingi mereka, apalagi kalau pertanyaan disampaikan online, kelabakanlah saya karena kesibukan terkadang tidak bisa maksimal melayani mereka.
Link resmi Kompasiana tentang cara loggin maupun pengaduan bila ada permasalahan sudah saya berikan, tetapi tetap saja ada yang kesulitan.Â
Sampai-sampai saya membuat grup Kompasianer Newbee, yang saya isi dengan Kompasianer senior untuk membimbing mereka. Ini saya lakukan karena tidak ingin membuat mereka kecewa.
Sebetulnya ada yang sebel juga sama sikap saya ini.
"Mending dilempari nomor WA admin Kompasiana bund, tidak usah sok jadi hero!"
Aih, saya bukan mau jadi hero, cuma membalikkan posisi saja. Bila itu terjadi sama saya, dera kebingungan pasti menerpa. Seperti saat pertama saya daftar dulu.
Dipandu online sama sahabat Kompasianer, tak berhasil. Sesudah minta bantuan perangkat desa baru bisa. Kejadian itu tak nyaman benar, ingin segera menulis tapi terhalang kendala login.
Sesudah berhasil, bahagia betul rasanya. Menulis tak ada henti seperti air bah, mengalir setiap hari. Tak peduli belum verifikasi, yang penting bisa menulis. 2 bulan baru bisa dapat centang hijau, itupun sesudah dibantu anak saya.
Mengingat itu saya tak ingin kejadian yang menimpa diri saya terulang pada teman lain. Membantu sebisanya, bahkan melaporkan pada admin Kompasiana.
Hal ini ternyata menimpa pula pada teman lain yang ingin menulis di Kompasiana. Butuh bertemu, makanya ketika ada kesempatan workshop atau mengisi acara lain, selalu saya dampingi hingga bisa.
Kalaupun waktu tidak memungkinkan, saya masukkan grup Kompasianer Newbee. Ada Pak Ropingi, Deddy Husein Suryanto, juga Dinar Setyoningrum yang bersedia membantu.
Satu orang yang membuat saya berdecak tak percaya. Seorang ibu, guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Pakisaji asal Wagir Malang, ngotot bertemu saya untuk belajar menulis di Kompasiana.Â
Saya pandu online masih kesulitan, akhirnya dia putuskan datang ke rumah saya, Pujon. Yang jaraknya sekitar 70 km dari rumahnya. Naik angkutan umum. Naik turun ojeg, mikrolet dan bus. Luar biasa, terharu saya. Demi menjadi Kompasianer jarak tempuh, kesulitan perjalan dilakukan ringan.
"Sepertinya saya tetep harus ketemuan sama Bu Anis, saya masih bingung."
Benar saja, beberapa hari kemudian dia mengontak saya lagi. "Tulis alamatnya ya, jika boleh bertandang ke rumah saya akan datang, demi sebuah ilmu yang menurutku penting."
Diajukan sebuah hari, bargainning hingga akhirnya diperoleh sebuah kesepakatan. Satu minggu kemudian. Maka, supaya kedatangannya mendapat sambutan lebih hangat saya undang Kompasianer lain, terutama dari daerah saya.Â
Ada Bu Neli guru SMPN 2 Pujon dan Bu Nabila guru punggawa kader Pos Yandu dari Madiredo Pujon. Untuk ikut menyambut, menemani saya menjamu bu Riami jika datang nanti.
Ibu guru yang datang ke rumah saya itu bukanlah anak kemarin sore di bidang penulisan, ada 4 buku telah dihasilkan, puisi adalah passionnya disamping menulis tentang pengajaran.Â
Begitu bersemangatnya dia, menulis produktif di kelas menulis online juga di dunia nyata. Menulis di Kompasiana adalah keinginan lainnya secara terinspirasi dari teman- teman guru yang juga Kompasianer. Bu Enik Rusmiatilah biangnya, yang membuatnya begitu menggebu menjadi Kompasianer.
"Supaya bisa berkenalan dengan penulis hebat Indonesia dan belajar dari mereka." Begitu promosi Bu Enik.
Dia datang, juga Bu Nabila dan Bu Neli. Terkagum pula melihat keseriusan Bu Riami belajar. Langsung posting tulisan begitu bisa loggin.Â
Ini membuat dua bu guru cantik itu terlecut pula. Akun Kompasiana yang jarang mereka sambangi akhirnya dibuka juga. Menulis lagi, berkarya. Satu spirit telah ditularkan.
"Semoga menjadi jalan lain beramal shalih ya bu, jembatan jariyah sebelum kita menutup mata." Saya ucap demikian saat mengantarnya menanti bus di pinggir jalan raya depan gang rumah.
"Aamiin." Serempak suara menutup perbincangan.
Pelukan hangat, pun jabat tangan dengan dua bu guru lain mengantarnya naik bis pulang. Menuju terminal Landungsari Malang. Lalu naik mikrolet lagi menuju gadang, lanjut ojeg ke rumahnya Wagir.
Perjalanan KA menuju Jakarta. Lewati Semarang 1/2/2019