Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Salikah, Dia Memilih "Berkencan" dengan Tuhan

10 Desember 2018   16:54 Diperbarui: 10 Desember 2018   17:01 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Salikah tiba-tiba saja begitu populer di desanya, wanita senja usia yang sejak ditinggal mati suaminya menutup diri pada gairah lelaki yang menatapnya. Dia dianggap sombong karena sepak terjangnya bagai banteng ketaton, meludahi para penonton. Menyeruduk semua pakem boleh dan tidak boleh yang harusnya dilakukan wanita.

Pekerjaan lelaki, mengasongkan diri, berburu pembeli sedari munculnya mentari menjadikannya bukan wanita rumahan, jauh dari kata menawan, warna kulitnya mulai legam, tubuh sintalnya berangsur kurus tergerus lapar yang seringkali harus ditahan, puasa, menahan syahwat dunia, demi keinginan berbuka dengan suaminya yang telah tiada.

Dua buah hati peninggalan suaminya, menjadi sumber energi spirit kehidupan yang tiada habisnya, untuk mereka,  dia tak malu merendahkan diri, mengabaikan status priyayi yang mestinya masih disandang hingga kini. Tinggi hati tak mau meminta atau berhutang harta benda, membuatnya mengorbankan gengsi. 

 Untuk itu dia harus mengorbankan status sosialita, ditendang dari kelompok yang merasa Salikah telah mengotori kumpulan mereka. Salikahpun rasa tak mengapa, baginya kumpulan itu telah menjadi beban, tuntutan gaya hidup sekedar menampakkan pameran kemolekan dan kekayaan langsung ditinggalkan, tanpa pamitan, dia kini berada di luar pagar, jauh terlempar dari komunitas yang selama ini telah membuatnya menikmati travelling ke berbagai Mall dan tempat tempat pelesiran mahal.

 Baginya episode hedonis itu telah usai. Kesusahan hidup dan kemelaratan dilalui tanpa keluhan, seolah menikmati cap sombong yang disematkan sebagian orang padanya.

Ke teguhannya menolak pinangan lelaki baru sebagai pendamping hidupnya, agar dia tak lagi payah menyusur jalanan mencari nafkah menuai cemoohan. 

"Apa yang sedang kau cari? Wanita itu harusnya di rumah, bukan di jalanan, bila safar harus ada pendampingan, mahram, supaya aman dari godaan." 

" Maafkan aku sahabat, bukan aku tak ingin di rumah saja, tapi aku tak ingin membebani siapa-siapa, kalau jalanan adalah tempatku mendapatkan recehan, akan kulakukan, agar anak anakku tidak kelaparan."

"Makanya, menikahlah lagi, biar suamimu menanggung hidupmu. Agar kau berada di tempat yang benar, rumah adalah sebaik baik tempat bagi wanita, bukan jalanan. Kau terimalah dia, lelaki itu mengajukan pinangan."

Salikah mengabaikan, sejak itu beberapa orang memberi  cap padanya, wanita sombong, " Dipenakno urip e kok yo emoh, ngene iki urip e keloro loro, ben dirasakno." Di mulyakan hidupnya kok tidak mau, kini hidupnya susah, biar dia rasakan akibatnya. 

Tangisnya memecah di keheningan, kala keningnya menyentuh sajadah lusuh kesayangan, peninggalan suaminya ketika hidup dahulu. Dia memilih "berkencan" dengan Tuhan tanpa seorang pun tahu, di bilik tersembunyi, lima waktu yang selalu dia rindu, saat dulu hanya menjadi makmum, dan kini mau tak mau harus menjadi imam untuk satu satunya wanita lain di rumahnya, ibu. Wanita lanjut usia yang telah melahirkan suaminya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun