Kadang film horor terbaik bukan tentang hantunya, tapi tentang rasa sakit yang manusiawi. Dia Bukan Ibu, karya terbaru Randolph Zaini, jadi bukti bahwa ketakutan paling mengerikan bisa lahir dari hal-hal yang justru dekat dengan rumah, bahkan dengan sosok yang seharusnya kita sebut "ibu".
Sejak awal, film ini terasa beda. Bukan sekadar horor dengan formula seribu kali pakai---kerasukan, dukun, atau santet---tapi sesuatu yang lebih dalam dan agak artsy. Zaini, yang sebelumnya dikenal lewat Preman, kini menunjukkan sisi tergila dan paling matang dalam kariernya. Film ini seperti eksperimen visual dan emosional yang diracik dengan hati.
Kalau biasanya film adaptasi dari thread atau podcast viral cenderung terasa template dan tergesa-gesa, Dia Bukan Ibu justru melawan arus itu. Ia hadir dengan penceritaan yang matang, visual yang menawan, dan pesan simbolik yang nyentuh. Adegan demi adegan dibangun dengan perlahan, membuat penonton nggak cuma takut, tapi juga merasa iba, muak, sekaligus kagum.
Yang menarik, Zaini menggunakan elemen simbolik yang jarang ditemui di horor Indonesia. Misalnya, lewat figur kucing putih---sebuah metafora keibuan, kasih yang salah arah, dan kehilangan kontrol. Di momen tertentu, simbol itu bahkan terasa mengerikan sekaligus tragis. Sama halnya dengan penggunaan susuk yang bukan sekadar alat mistis, tapi cerminan dari obsesi manusia akan cinta dan penerimaan.
Christine Hakim tampil luar biasa sebagai tokoh ibu. Sosoknya menakutkan tapi juga rapuh. Ia berhasil menampilkan potret perempuan yang tenggelam dalam trauma, kekerasan, dan tekanan hidup, tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Kalau kamu suka karakter ibu di Pengabdi Setan, bayangkan versi yang lebih kelam dan lebih realistis---itulah Dia Bukan Ibu.
Sinematografi film ini juga pantas diacungi jempol. Warna-warna kusam, pencahayaan minim, dan permainan bayangan memberi nuansa suram yang elegan. Semua unsur teknis terasa terkontrol, dari transisi adegan hingga scoring yang efektif memunculkan rasa tegang tanpa harus memekakkan telinga.
Zaini benar-benar berani mengambil risiko. Ia menggabungkan drama psikologis, mitos lokal, dan filosofi trauma menjadi satu kesatuan yang disturbing tapi indah. Film ini terasa seperti refleksi sosial tentang bagaimana perempuan menghadapi beban budaya, kekerasan domestik, dan ekspektasi masyarakat terhadap peran seorang ibu.
Apakah film ini sempurna? Nggak juga. Beberapa bagian terasa sedikit memanjang dan bisa bikin sebagian penonton kelelahan. Tapi terlepas dari itu, Dia Bukan Ibu tetap jadi salah satu karya paling berani dan orisinal di jagat horor Indonesia modern.
Dan mungkin inilah yang selama ini kita tunggu---film horor lokal yang nggak hanya menakutkan, tapi juga punya isi dan emosi yang dalam. Bukan sekadar menakut-nakuti, tapi mengajak kita berpikir, "apa jadinya kalau cinta seorang ibu berubah jadi kutukan?"
Rating: 8.5/10