Kata siapa liburan itu selalu menyenangkan? Kalau kamu pernah coba nekat ke Puncak Bogor pas akhir pekan tanpa rencana yang matang percaya deh, niat hati pengen healing malah bisa berakhir jadi uji kesabaran level dewa. Puncak itu semacam "pelarian bersama" warga Jabodetabek. Saat Sabtu pagi, jalan tol arah Bogor udah kayak sirkuit umum. Mobil pelat B semua tumpah ruah, berebut tempat buat dapet udara yang (katanya) masih sejuk dan segelas susu hangat di warung tepi kebun teh. Tapi kenyataannya? Sampai ke sana aja bisa bikin emosi naik-turun kayak jalanan menanjak di Taman Safari.
Macet, Ritual Wajib Tiap Weekend
Setiap minggu, ceritanya sama. Warga kota yang penat pengen cari udara segar, padahal pas udah sampai malah disambut sama kemacetan berjam-jam. Jalanan yang harusnya cuma ditempuh satu jam, bisa molor jadi tiga jam, bahkan lebih. Nggak heran, karena kapasitas jalan yang kecil, ditambah volume kendaraan yang bejibun, ditambah lagi dengan parkir liar dan pedagang yang mangkal di pinggir jalan. Lengkap. Ada sistem satu arah (buka tutup) dari polisi sih. Tapi ya tetep aja, kadang bikin makin bingung, apalagi buat yang belum hafal jalur. Akhirnya banyak yang nyasar atau malah muter-muter tanpa kepastian. Bikin capek duluan sebelum nyampe tempat wisata.
Wisata Alami yang Dirusak Sendiri
Ironisnya, banyak orang datang ke Puncak buat menikmati alam. Tapi justru karena terlalu banyak pengunjung, alamnya jadi makin rusak. Sampah berserakan, area hutan makin terdesak oleh vila-vila dan kafe-kafe kekinian yang berlomba-lomba jadi "Instagramable". Kadang kita lupa, bahwa niat menikmati alam malah berubah jadi eksploitasi pelan-pelan. Beberapa warga lokal yang aku sempat ajak ngobrol juga bilang, mereka senang sih kalau banyak wisatawan, karena bisa bantu ekonomi. Tapi di sisi lain, mereka juga resah. Harga kebutuhan naik, kebisingan makin parah, dan banyak pengunjung yang kurang sopan. Nggak semua wisata bawa dampak baik ternyata.
Perlu Gaya Baru Wisata Puncak
Mungkin saatnya kita mikir ulang soal gimana cara mengelola wisata Puncak. Jangan cuma fokus promosi, tapi juga manajemennya harus beres. Transportasi umum misalnya, harusnya jadi opsi utama buat ke sana, biar nggak semua orang bawa mobil pribadi. Area parkir resmi juga perlu diperbanyak, supaya nggak semua kendaraan parkir sembarangan. Dan buat kita para wisatawan, yuk mulai belajar jadi pengunjung yang sadar. Bawa pulang sampah, jangan asal coret, dan hargai ruang milik warga lokal. Kalau kita bisa saling jaga, tempat seindah Puncak nggak cuma bisa dinikmati hari ini, tapi juga buat generasi selanjutnya.
Jadi, Worth It Nggak ke Puncak?
Jawabannya tergantung. Kalau kamu udah siap lahir batin buat hadapi macet, sabar dengan antrian panjang, dan sadar bahwa liburan juga soal tanggung jawab maka Puncak masih layak dikunjungi. Tapi kalau kamu pengen liburan yang benar-benar tenang, damai, dan nggak pake ribet, mungkin kamu bisa coba cari opsi lain yang belum terlalu ramai, tapi tetap punya keindahan alami yang bisa dinikmati. Indonesia ini luas, dan Bogor bukan cuma Puncak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI