Pembentukan hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang terus berkembang. Sebagai negara hukum yang menganut prinsip demokrasi, idealnya pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia bersandar pada asas legalitas, partisipasi publik, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun dalam praktiknya, proses legislasi kerap kali menyimpang dari idealisme hukum yang diharapkan, dan justru menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan politik yang kuat. Inilah yang menjadi akar problematika dalam dinamika pembentukan hukum di Indonesia.
Salah satu contoh nyata dapat dilihat dari pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan pada tahun 2020. Proses legislasi yang cepat, minim partisipasi publik, serta adanya kekeliruan dalam penyusunan naskah akhir menunjukkan lemahnya mekanisme check and balance dalam pembentukan hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan munculnya legislasi yang tidak berpihak pada keadilan sosial dan justru menguntungkan kelompok tertentu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum di Indonesia sering kali lebih berorientasi pada kekuasaan (power-oriented), bukan pada keadilan (justice-oriented). Hukum tidak lagi menjadi sarana untuk menciptakan ketertiban dan keadilan, tetapi menjadi instrumen politik yang dapat dikendalikan oleh elit tertentu. Hal ini mencederai asas negara hukum yang menempatkan hukum di atas kekuasaan.
Selain faktor politik, dinamika pembentukan hukum di Indonesia juga dipengaruhi oleh tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan. Berdasarkan data JDIH Nasional, Indonesia memiliki ribuan regulasi yang sering kali saling bertentangan. Inkonsistensi antar norma hukum ini menyebabkan ketidakpastian hukum, terutama bagi masyarakat dan pelaku usaha yang menjadi subjek hukum. Ketidakpastian hukum adalah bentuk kegagalan legislasi dalam menciptakan kepastian dan keadilan, dua prinsip utama dalam sistem hukum yang ideal.
Upaya pembenahan sebenarnya telah dilakukan melalui reformasi regulasi, seperti pembentukan Badan Legislasi Nasional dan upaya kodifikasi hukum. Namun, tanpa perbaikan pada aspek transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam proses legislasi, dinamika pembentukan hukum di Indonesia akan terus berada dalam pusaran kepentingan politik.
Oleh karena itu, sudah saatnya pembentukan hukum di Indonesia diarahkan kembali kepada semangat konstitusionalisme. Legislasi harus menjadi cerminan dari aspirasi rakyat, bukan hanya hasil dari kompromi politik di balik meja parlemen. Perlu ada mekanisme evaluasi regulasi yang kuat dan sistematik, serta penguatan peran akademisi dan masyarakat sipil dalam proses legislasi.
Kesimpulannya, dinamika pembentukan hukum di Indonesia berada di persimpangan antara harapan dan kenyataan. Jika tidak ada reformasi menyeluruh dalam sistem legislasi, maka hukum akan terus menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan. Dalam konteks ini, perguruan tinggi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil memiliki peran penting untuk terus mengawal proses pembentukan hukum agar tetap berada dalam koridor konstitusi dan prinsip negara hukum yang demokratis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI