Aku punya satu teman di kelas, yang membuatku sadar kalau komunikasi itu bukan cuma soal kata-kata. Dia salah satu mahasiswa difabel yang ada di jurusanku. Wajahnya selalu hangat. Setiap kali mata kami bertemu, ada senyum yang dilemparkan. Tapi ya... cuma itu. Nggak lebih dari sekadar senyum dan tatap-tatapan canggung karena aku nggak tahu gimana cara ngajak ngobrol dia. Rasanya kayak ada tembok transparan yang menghalangi aku buat bisa lebih dekat.
Awalnya aku mikir, "Ya udah, mungkin cukup saling tahu aja." Tapi makin lama, makin nggak enak. Masa iya, satu semester duduk satu kelas tapi nggak pernah benar-benar ngobrol? Padahal kalau sama teman lain, bisa ketawa bareng, nanya tugas, atau sekadar saling ngeluh soal deadline. Tapi dengan dia, semua terasa asing. Dan itu bukan salah dia, itu salahku yang belum mau usaha lebih.
Dari situ aku mulai cari tahu tentang bahasa isyarat. Nggak muluk-muluk pengen langsung lancar, tapi aku pengin setidaknya bisa menyapa, nanya kabar, atau bilang "makasih" dengan cara yang dia mengerti. Aku mulai dari hal yang paling sederhana: nonton video di tiktok . Ternyata bahasa isyarat itu nggak sesulit yang aku bayangkan. Gerakannya memang butuh dilatih, tapi yang paling penting adalah niatnya  niat buat benar-benar mau nyambungin diri sama orang lain yang selama ini terpinggirkan dari obrolan kita.
Aku juga mulai sadar satu hal betapa selama ini kampus kita belum sepenuhnya ramah dan inklusif. Bukan cuma soal fasilitas, tapi juga soal sikap. Masih banyak mahasiswa yang bingung atau bahkan canggung kalau harus satu kelompok sama teman difabel. Padahal, mereka sama kayak kita punya mimpi, pengen diakui, dan ingin jadi bagian dari cerita di kelas.
Belajar bahasa isyarat itu bikin aku ngerasa lebih manusia. Karena kita bukan cuma belajar komunikasi, tapi juga belajar empati. Kadang aku heran, kenapa hal-hal kayak gini nggak masuk kurikulum wajib? Bukankah kampus itu harusnya jadi tempat paling ramah buat semua jenis manusia?
Waktu pertama kali aku nyoba pakai isyarat sederhana ke dia  waktu itu aku coba bilang "halo" sambil senyum matanya langsung berbinar. Dia kaget tapi senang. Wajahnya berubah seketika, dan dia balas dengan gerakan tangan yang aku yakini juga berarti "halo". Rasanya kayak baru bisa ngobrol lagi setelah sekian lama kehilangan suara. Padahal baru satu kata.
Sejak saat itu aku makin tertarik buat belajar bahasa isyarat, bukan cuma sekedar tau tapi aku pengen bisa lebih ngerti dunia mereka, dan aku ingin berkomunikasi dengan mereka seperti aku berkomunikasi dengan temenku yang lain. Lancar, gaada gap, dan terus menerus.
Ada hari-hari di mana aku masih bingung dengan gerakan tangannya. Tapi sekarang, setidaknya aku nggak cuma diam. Aku bisa bilang "terima kasih", "maaf", atau "semangat". Dan dari hal-hal kecil itu, aku merasa ngga se asing dulu kalau ketemu dia. Kadang kami saling lempar ekspresi lucu, atau sekadar saling menyemangati pakai isyarat kalau kelas lagi berat-beratnya.
Aku nggak bilang semua orang harus langsung belajar bahasa isyarat. Tapi kalau kita bisa belajar bahasa Inggris atau Korea karena nonton drama, kenapa nggak nyisihin waktu sedikit buat belajar komunikasi yang bikin orang lain merasa diterima? Kita nggak pernah tahu, mungkin satu sapaan kecil itu bisa jadi alasan seseorang merasa dia benar-benar bagian dari kelas ini.
Temanku yang satu itu sekarang jadi pengingat kecil buatku bahwa kehadiran seseorang bukan ditentukan dari seberapa sering dia bicara, tapi seberapa jauh kita mau membuka ruang buat dia bicara dengan caranya sendiri. Bahasa isyarat mungkin nggak terdengar, tapi punya suara yang sangat kuat suara dari keinginan buat dimengerti.