Ketika kita berbicara tentang pengawasan dalam tata kelola pemerintahan daerah, bayangan yang muncul di benak banyak orang mungkin adalah tumpukan berkas audit yang membosankan, prosedur birokratis yang kaku, atau laporan-laporan keuangan yang penuh dengan angka dan istilah teknis yang sulit dipahami. Persepsi ini, sayangnya, seringkali mereduksi makna sejati dan vitalitas dari fungsi pengawasan itu sendiri. Namun, jauh melampaui kerumitan administratif tersebut, pengawasan adalah pondasi utama yang menopang pilar akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan pembangunan di setiap jengkal wilayah daerah.
Di era informasi yang serba cepat, di mana setiap kebijakan dan penggunaan anggaran dapat dengan mudah diakses dan dipertanyakan oleh masyarakat melalui media digital, peran pengawasan telah bertransformasi dari sekadar kewajiban formal menjadi suatu keniscayaan strategis. Ia bukan lagi sekadar mekanisme kontrol retrospektif yang hanya berfungsi untuk mencari kesalahan setelah terjadi, melainkan sebuah katup pengaman proaktif sekaligus akselerator yang krusial. Sebagai katup pengaman, pengawasan mencegah kebocoran, penyalahgunaan wewenang, dan praktik korupsi yang dapat menggerogoti sumber daya publik. Sementara itu, sebagai akselerator, pengawasan memastikan bahwa setiap program dan proyek pembangunan berjalan sesuai koridor, mencapai target yang ditetapkan, dan pada akhirnya memberikan dampak positif yang maksimal bagi kesejahteraan masyarakat.
Tanpa sistem pengawasan yang kuat, efektif, dan independen, roda pemerintahan daerah akan berputar tanpa arah yang jelas. Bayangkan sebuah kapal besar yang berlayar di tengah samudra luas tanpa kompas, peta, atau awak yang mengawasi mesin dan kemudi. Sangat mungkin kapal itu akan tersesat, karam, atau tidak pernah sampai ke tujuan yang diinginkan. Demikian pula dengan pemerintahan daerah. Absennya pengawasan yang memadai dapat membuka celah lebar bagi inefisiensi anggaran, praktik nepotisme, penyalahgunaan anggaran, hingga tindak pidana korupsi yang masif. Pada akhirnya, semua ini akan bermuara pada terkikisnya kepercayaan publik, hilangnya legitimasi pemerintah di mata rakyat, dan terhambatnya laju pembangunan daerah yang seharusnya menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, memahami dan memperkuat pengawasan bukanlah sekadar opsi, melainkan suatu imperatif bagi kemajuan daerah kita.
Pengawasan dalam tata kelola pemerintahan daerah seringkali diasosiasikan dengan prosedur yang kaku dan laporan-laporan teknis yang rumit. Namun, esensinya jauh melampaui itu ia adalah pondasi utama akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan pembangunan daerah. Di tengah derasnya informasi dan tuntutan publik yang semakin tinggi, peran pengawasan menjadi semakin krusial, berfungsi sebagai katup pengaman sekaligus akselerator dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efektif.
Mengapa pengawasan begitu vital? Bayangkan sebuah orkestra besar yang tampil tanpa dirigen atau tanpa evaluasi atas setiap instrumen yang dimainkan. Pasti akan menghasilkan suara yang sumbang dan kacau. Begitu pula dengan pemerintahan daerah. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan efektif, risiko penyimpangan anggaran, inefisiensi program, bahkan praktik korupsi, dapat merajalela, mengikis kepercayaan publik dan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengawasan bukanlah semata-mata mencari kesalahan, melainkan suatu proses proaktif untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, program, dan anggaran yang dialokasikan benar-benar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Tujuan utamanya adalah mencegah penyimpangan sejak dini dan membangun kepercayaan publik yang kokoh.
Pengawasan bukanlah semata-mata mencari kesalahan, melainkan suatu proses proaktif untuk memastikan bahwa setiap kebijakan, program, dan anggaran yang dialokasikan benar-benar memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Tujuan utamanya adalah mencegah penyimpangan sejak dini dan membangun kepercayaan publik yang kokoh. Ini adalah korelasi yang tak terpisahkan : semakin efektif pengawasan, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya.
Korelasi ini terbukti secara global. Data dari berbagai lembaga riset internasional, terutama Transparency International (TI), secara konsisten menunjukkan bahwa negara-negara dengan mekanisme pengawasan yang kuat, transparan, dan independen cenderung menempati peringkat teratas dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK). IPK adalah indikator global yang mengukur persepsi korupsi di sektor publik dari sudut pandang para ahli dan pelaku bisnis. Semakin tinggi skor IPK (mendekati 100), semakin rendah persepsi korupsi di negara tersebut.
Untuk konteks Indonesia, perjalanan kita dalam memerangi korupsi masih diwarnai pasang surut. Pada tahun 2023, IPK Indonesia berada di angka 34 dari skala 100. Angka ini, meskipun sedikit berfluktuasi dari tahun ke tahun, secara fundamental menunjukkan bahwa tantangan dalam pemberantasan korupsi, termasuk dan bahkan khususnya di tingkat daerah, masih sangat signifikan. Skor 34 menempatkan Indonesia pada posisi yang memerlukan upaya ekstra keras untuk mencapai standar tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Di tingkat daerah, praktik korupsi seringkali terjadi dalam bentuk penyalahgunaan anggaran, mark-up proyek infrastruktur, suap perizinan, atau jual beli jabatan. Semua ini adalah "penyakit" yang hanya bisa diobati dengan dosis pengawasan yang kuat dan sistematis.
Pengawasan yang efektif bukan hanya sekadar mekanisme deteksi, melainkan juga faktor penentu utama dalam meningkatkan skor IPK. Ketika masyarakat melihat bahwa dana pembangunan, misalnya, dialokasikan untuk infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan, berkualitas tinggi, dan tanpa praktik kolusi atau mark-up, maka kepercayaan itu akan tumbuh bersemi. Sebaliknya, ketika ditemukan banyak kasus penyelewengan dana publik, apalagi tanpa ada tindak lanjut yang tegas dari aparat penegak hukum atau badan pengawas, maka kepercayaan publik akan runtuh. Kepercayaan ini adalah modal sosial yang tak ternilai harganya bagi keberlanjutan pembangunan daerah, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan, dan menarik investasi yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan ekonomi lokal. Tanpa kepercayaan, program-program pemerintah, seberapa baik pun niatnya, akan sulit mendapatkan dukungan penuh dari rakyat.
Ketika masyarakat melihat bahwa dana pembangunan, misalnya, dialokasikan untuk infrastruktur yang benar-benar dibutuhkan, tanpa mark-up atau praktik kolusi, maka kepercayaan itu akan tumbuh. Kepercayaan ini adalah modal sosial yang tak ternilai harganya bagi keberlanjutan pembangunan daerah, mendorong partisipasi masyarakat, dan menarik investasi.
Lebih dari sekadar fungsi kontrol, pengawasan harus difungsikan sebagai katalisator peningkatan kinerja. Melalui audit dan evaluasi, aparat pengawas internal maupun eksternal dapat mengidentifikasi akar masalah dari suatu program yang kurang efektif, menemukan area inefisiensi, dan memberikan rekomendasi konstruktif untuk perbaikan.
Contohnya seperti Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seringkali mengungkap temuan-temuan terkait kelemahan sistem pengendalian internal atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Misalnya, dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), BPK sering menemukan adanya aset yang tidak tercatat dengan baik, piutang yang tidak tertagih, atau belanja fiktif. Temuan-temuan ini, jika ditindaklanjuti secara serius, dapat mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem tata kelolanya, sehingga di masa depan kesalahan serupa tidak terulang dan anggaran dapat dimanfaatkan secara lebih optimal.
Data dari BPK menunjukkan, dari ribuan temuan yang disampaikan setiap tahun, sebagian besar merupakan rekomendasi perbaikan atas sistem dan prosedur, bukan hanya temuan indikasi kerugian negara. Ini menegaskan bahwa pengawasan berfungsi sebagai alat koreksi dan pembelajaran.
Pengawasan yang komprehensif melibatkan sinergi dari berbagai aktor, baik internal maupun eksternal  :
- Inspektorat Daerah (APIP) Garda Terdepan Internal
Inspektorat memiliki peran strategis sebagai Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Tugasnya meliputi audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap kinerja dan keuangan pemerintah daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) menegaskan pentingnya peran APIP dalam mewujudkan tata kelola yang baik. Data dari Kementerian Dalam Negeri menunjukkan peningkatan kapabilitas APIP di berbagai daerah, meskipun standarnya masih terus diupayakan untuk mencapai level 3 (terintegrasi) atau lebih tinggi, yang mengindikasikan kemampuan APIP untuk memberikan konsultasi dan jaminan kualitas.
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Representasi Suara Rakyat
DPRD memiliki fungsi pengawasan legislatif terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Melalui rapat dengar pendapat, interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, DPRD memastikan bahwa kebijakan dan program eksekutif sejalan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Partisipasi publik dalam rapat-rapat DPRD dan akses terhadap informasi legislatif adalah kunci efektivitas pengawasan ini.
- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Daerah Pemeriksa Independen
BPK adalah lembaga negara independen yang bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, termasuk di tingkat daerah. Hasil pemeriksaan BPK, yang tertuang dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), merupakan instrumen akuntabilitas yang sangat kuat. LHP ini tidak hanya mengungkap potensi kerugian negara, tetapi juga memberikan rekomendasi perbaikan sistem. Masyarakat dapat mengakses ringkasan hasil pemeriksaan BPK, yang seringkali menjadi sorotan publik dan mendorong tindak lanjut dari pemerintah daerah.
- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Penegakan Hukum Khusus
Meskipun bukan lembaga pengawas reguler, KPK memiliki peran vital dalam fungsi pengawasan melalui penindakan kasus korupsi. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK, termasuk terhadap kepala daerah, menjadi peringatan keras bagi para pejabat. Data KPK menunjukkan bahwa kasus korupsi yang ditangani seringkali berawal dari penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan anggaran dan proyek di daerah.
- Masyarakat Sipil dan Media Massa Kekuatan Pengawasan Eksternal
Di era digital, peran masyarakat sipil (LSM, akademisi, komunitas) dan media massa sebagai pengawas eksternal semakin fundamental. Melalui jurnalisme investigatif, platform pelaporan warga, dan kampanye advokasi, mereka dapat mengungkap potensi penyimpangan, mendorong transparansi, dan memberikan tekanan moral kepada pemerintah daerah. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) adalah instrumen penting yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi publik, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam pengawasan. Data dari lembaga riset media menunjukkan peningkatan laporan investigasi terkait tata kelola daerah dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan peningkatan kesadaran dan kapasitas media dalam mengawal isu-isu publik.
- Tantangan Pengawasan di Era Digital
- Keterbatasan Sumber Daya : Baik dari segi SDM yang kompeten maupun anggaran operasional bagi aparat pengawas.
- Independensi APIP : Tantangan dalam menjaga independensi APIP dari intervensi kepala daerah, meskipun sudah ada regulasi yang menguatkannya.
- Resistensi terhadap Perubahan : Masih adanya pihak-pihak yang enggan diawasi atau menindaklanjuti rekomendasi pengawasan.
- Pemanfaatan Teknologi : Belum optimalnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pengawasan berbasis data dan real-time.
- Untuk mengoptimalkan pengawasan di masa depan, beberapa langkah strategis perlu dilakukan :
- Penguatan Kapasitas APIP : Peningkatan kompetensi auditor, sertifikasi, dan penyediaan infrastruktur IT yang memadai.
- Kolaborasi Lintas Lembaga : Membangun sinergi yang lebih erat antara Inspektorat, DPRD, BPK, KPK, dan Kejaksaan dalam penanganan kasus.
- Partisipasi Publik Berbasis Teknologi : Mengembangkan platform digital yang memudahkan masyarakat melapor dan mengakses informasi terkait tata kelola daerah. Misalnya, aplikasi LAPOR! yang memungkinkan masyarakat menyampaikan aspirasi dan pengaduan, atau dashboard anggaran yang transparan.
- Penerapan Sistem Pengawasan Berbasis Risiko : Fokus pada area-area yang memiliki risiko tinggi penyimpangan, bukan hanya pengawasan bersifat administratif.
Pengawasan dalam tata kelola pemerintahan daerah adalah investasi jangka panjang untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ini bukan hanya tentang meniadakan korupsi, tetapi tentang membangun ekosistem tata kelola yang sehat, yang pada akhirnya akan mengakselerasi pembangunan daerah yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Apakah kita siap untuk menjadi bagian dari mata pengawas yang tajam demi masa depan daerah yang lebih baik?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI