HIJRAH DAN PLURALITAS
Oleh Syamsul Yakin dan Anggi Zaharani (dosen dan mahasiswa)
Apakah mungkin nilai-nilai keislaman dapat berjalan seiring dengan semangat pluralisme dan demokrasi di tengah dunia yang semakin majemuk? Globalisasi dan pluralisme dewasa ini menjadi keniscayaan yang tak bisa dihindari. Masyarakat dunia dituntut untuk menerima keberagaman suku, agama, ras, dan budaya secara terbuka. Menolak perbedaan atau memaksakan keseragaman bukan hanya bertentangan dengan zaman, tapi juga dianggap sebagai tindakan yang ketinggalan zaman dan berpotensi merusak tatanan sosial.
Agama, khususnya Islam, seringkali dipersepsikan sempit di kancah internasional, seolah bertentangan dengan prinsip pluralitas. Tuduhan terhadap negara-negara Islam sebagai sarang terorisme dan fundamentalisme marak digaungkan. Padahal, perlawanan negara-negara tersebut lebih karena mempertahankan nilai akidah dan menolak ketidakadilan global yang bersifat hegemonik. Islam sesungguhnya membawa ajaran etika dan moral universal yang bisa menjadi landasan kuat dalam membangun relasi antar umat manusia secara damai.
Momentum hijrah Nabi Muhammad SAW ke Madinah membuktikan bahwa Islam adalah agama yang sangat terbuka terhadap perbedaan. Di kota itu, Nabi memulai pembangunan masyarakat multikultural yang harmonis. Melalui Piagam Madinah, Nabi menetapkan perjanjian bersama dengan berbagai suku dan agama sebagai bentuk pengakuan terhadap eksistensi dan hak mereka. Piagam ini bukan hanya cermin kebijaksanaan, tapi juga tonggak awal sistem konstitusional dalam dunia Islam.
Islam memandang keragaman sebagai bagian dari sunatullah. Al-Qur'an sendiri mengajarkan bahwa perbedaan suku, bangsa, bahkan agama adalah kenyataan yang tidak bisa dihapuskan. Dari situlah manusia diharapkan belajar memahami dan menghormati perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Islam tidak pernah memaksakan kesamaan, melainkan menekankan pentingnya keadilan, dialog, dan saling menghargai.
Praktik pluralisme dan demokrasi dalam Islam juga tercermin dalam kehidupan Nabi SAW sehari-hari. Kisah tentang Salman al-Farisi, mantan budak yang pendapatnya diterima Nabi dalam strategi perang Khandaq, menunjukkan bahwa Islam menilai seseorang dari ide dan kontribusinya, bukan dari status sosialnya. Di sini kita belajar bahwa prinsip-prinsip demokrasi, seperti kesetaraan dan keterbukaan terhadap pendapat, sudah dijalankan Nabi sejak lama.
Maka tak heran jika sosok Nabi Muhammad SAW tak hanya dikenal sebagai pembawa risalah agama, tetapi juga sebagai reformis sosial yang sukses. Melalui hijrah, beliau membuka jalan menuju masyarakat yang lebih inklusif dan adil. Kini, sudah saatnya kita meneladani semangat hijrah itu, bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai gerakan sosial untuk membangun bangsa yang damai, adil, dan pluralistik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI