Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ingatan Ramadan Masa Lampau

11 Maret 2024   21:39 Diperbarui: 11 Maret 2024   21:55 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ramadan selalu menjadi momen menyenangkan. Di masa kecil, saya menikmati sekali masa ramadan. Banyak momen menyenangkan yang dikreasi di rumah atau di masjid. Di rumah pasti mama dan bapak menyiapkan menu-menu yang biasanya tak dinikmati sebelumnya seperti kolak pisang, olahan ayam, timun suri, atau sirup.

Dulu membeli sirup tak seperti saat ini, rasanya tak semudah sekarang di mana kita dapat membeli di manapun. Walhasil sirup merupakan menu khusus di kala buka. Plus esnya. Omong-omong soal es, es pun tak mudah didapat karena di rumah tak ada kulkas. Kulkas, di era saya kecil, salah satu penanda kemampuan ekonomi keluarga yang sering kami bilang "orang kaya". Belakangan, makan kurma menjadi sesuatu yang baru kami nikmati di masa-masa ramadan.

Maka ketika hal-hal baru tersebut hadir, kemewahan begitu menyelimuti masa ramadan di rumah.  Kemewahan lainnya adalah sahur dengan Indomie. Saya di masa SD tak gampang makan. Favorit saya cuma makan ikan asin, teri dan sambal. Di masa itu seingat saya, ayam tak biasa ada di menu harian. Jadi termasuk ayam, itu adalah kemewahan yang dahsyat. Indomie menjadi penyelamat saya yang pilih-pilih makanan dan tak suka sayur. Kalau sekarang kan banyak berita soal buruknya konsumsi mie instan secara rutin, dulu informasi itu tak didapat oleh kami, jadi makan mie instan setiap sahur adalah yang terbaik. Ada kuah dan rasa nikmat, tentu dicampur dengan nasi. Jos sekali rasanya. Jadi Bapak dan Mama saya biasa membeli mie instan satu kardus, khusus buat saya sahur.

Pengajian yang biasa diselenggarakan di waktu siang libur. Untuk jadwal pengajian sehabis mangrib berpindah ke pengajian setelah shalat subuh. Nah momen pengajian subuh ini bertabrakan dengan kebiasaan masyarakat yang terbiasa jalan-jalan setelah shalat subuh. Dulu lokasinya di atas jembatan tol. Di situ orang berjalan-jalan, entah yang pulang shalat subuh dari masjid atau memang sengaja berjalan-jalan setelah sahur. Ramai sekali. Sekarang saya jarang melihat suasana seperti itu. Saking ramainya kadang sampai sulit berjalan. Oya, yang bikin ramai adalah adu petasan. Nah ini yang paling menyeramkan buat saya. Sampai sekarang saya tak terlalu akrab dengan petasan, meski teman-teman saya di masa kecil jago-jago dan pemberani soal bermain petasan.

Kadang dilema mengaji subuh atau langsung cabut ke lokasi jalan-jalan subuh hadir begitu saja. Tapi jika dikalkulasi saya lebih sering ikut mengaji dengan Almarhum Pak Ustadz Thoi ayah dari A Ustadz Miftah Farid. Pengajian ramadan selalu soal kitab kuning, kalau tak salah kitab Safinah. Di lain sisi, selepas Isya anak-anak pengajian selalu kumpul untuk bergantian membaca alquran. Biasanya hingga jam 10-11 malam. Lalu ada yang tidur di masjid dan ada yang langsung pulang seperti saya.

Momen-momen tersebut menjadi masa-masa menyenangkan di masa-masa SD saya kisaran tahun 95-99, ketika itu saya ada di kelas 3 hingga kelas 6 SD. Masa menyenangkan lainnya adalah bermain di sela-sela menjelang tarawih. Saya di masa SD tak pernah percaya diri menggunakan sarung, jadi selalu bercelana panjang. Tapi anak-anak yang memakai sarung selalu bermain sarung, saling selepet, seperti yang digambarkan oleh salah satu pasangan capres dan cawapres beberapa waktu lalu.

Momen menyenangkan lain, adalah kebiasaan bermain bola selepas pengajian subuh. Energi anak-anak yang tak kenal lelah, membuat olahraga pagi tetap menyenangkan. Haus tentu saja, tapi energi anak SD usia di bawah 10 tahun memang dahsyat dan bergelora. Di siang hari, jika tak sekolah kami tetap bermain. Kadang ada momen tidur siang untuk melupakan bahwa kami sedang berpuasa. Dan sore tetap bermain lagi. Suasana Kampung Cibuntu di era 90 masih banyak pohon dan jarang penduduk. Beda dengan sekarang yang sudah menjadi lautan kontrakan dan dihimpit pabrik-pabrik.

Ramadan, ketika itu, begitu menyenangkan. Sekarang tetap menyenangkan. Tapi nuansa Ramadan ketika itu, masih lekat di ingatan. Dan ternyata, sudah 30 tahun berlalu. Kami sudah beranjak tua, dan sebagian besar sudah berkeluarga. Keseruan ramadan masih melekat di hati. Marhaban ya Ramadan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun