Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perjuangan di Masa Pandemi

8 Januari 2021   16:27 Diperbarui: 8 Januari 2021   16:48 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika membeli makan siang di kantin kantor beberapa waktu yang lalu, suasananya begitu berbeda dengan masa sebelum pandemi. Hanya ada beberapa warung yang buka, sisanya sudah tutup sejak lama, demikian cerita penjual ayam goreng yang saya beli siang itu.

Pada masa normal, hanya untuk mendapat tempat duduk di kala makan siang rasanya suatu kemewahan. Harga yang relatif murah dibanding kantin di lokasi perkantoran lain di sekitarnya, kantin di kantor menjadi favorit dari para pekerja yang ingin makan siang. Meski panas, membuat berkeringat dan kadang diselingi asap dapur yang mengepul, para pekerja tetap berburu tempat duduk agar bisa makan siang sambil berbagi kisah dengan para sahabat.

Tapi, sudah hampir sepuluh bulan situasi tersebut hilang. Ke kantin di masa pandemi hanya akan menemukan kursi-kursi dan meja-meja yang kosong juga rasa sepi. Tidak ada lagi perburuan kursi atau antrian di warung-warung yang menjajakan makanan berharga ekonomis namun tetap sedap disantap. Juga gelak tawa para pekerja yang bersantap siang sambil bergosip ria. Perjumpaan yang lazim di masa normal semakin terbatasi di masa pandemi. 

Ternyata peristiwa hari-hari yang pada waktu normal nampak remeh menjadi kemewahan tersendiri yang begitu dirindukan di saat ini.
"Sepi mas, yang beli sedikit", keluh salah satu penjual ayam goreng langganan saya. "Ke mana aja mas, baru kelihatan", sapa ibu tempat saya biasa sarapan pagi. Keduanya bercerita bahwa situasi semakin tidak menentu. Pemasukan sangat minim tetapi mereka tidak memiliki pilihan dan tetap berjualan. "Kalau ga jualan mau apa mas", sebut abang penjual.

Merujuk data BPS (2020) ekonomi Indonesia Triwulan II 2020 turun 5,32 Persen. Situasi sulit memang menghinggapi siapapun. Mulai dari pedagang kecil hingga pengusaha kelas kakap. Bukan hal aneh jika kita melihat para pegawai salah satu restoran waralaba yang begitu besar harus menjajakan makanannya di tengah keramaian jalan. Semua mencari strategi untuk bertahan di tengah situasi sulit yang entah kapan berakhir.

Sayangnya hingga kini tidak terlihat ada laju penurunan kasus COVID-19. Vaksin sebagai salah satu juru selamat pun masih belum diyakini keampuhannya. Meski tentu saja kita berharap, ketika vaksin hadir, COVID-19 akan segera mereda. Data dari covid19.go.id memperlihatkan bahwa terdapat 685.639 pasien positif pertanggal 23 Desember 2020, 558.703 berhasil sembuh dan 20.408 meninggal. 

Hingga kini kita masih rutin mendengar ribuan orang positif COVID-19 setiap hari. Kesedihan semakin mudah hadir dalam keseharian. Ada yang kehilangan ayah dan ibu, anak, istri atau suami, sanak saudara, ataupun rekan kerja. Semua serba tiba-tiba dan meninggalkan duka mendalam.

Meski demikian di sisi lain, seperti masyarakat sudah terbiasa menghadapi pandemi yang tak jelas kapan akan berakhir. Misal, jika melihat tetangga dekat rumah, hampir semua sudah relatif cuek menyikapi pandemi atau bisa jadi mereka sudah pasrah. Di lingkungan perumahan tempat saya tinggal hingga kini sudah tiga tetangga yang positif COVID-19. Para tetangga tidak heboh dan terlalu khawatir. Warga menyampaikan dukungan secara pribadi maupun melalui WhatssApp Group, membantu secara nyata, mendoakan agar pulih, dan saling mengingatkan agar tetap menjaga kesehatan.

Berita baiknya, semua tetangga kami segera pulih dan sekarang bisa beraktivitas seperti biasa. Cerita tentang stigma terhadap mereka yang positif COVID-19 pun tidak ada di lingkungan rumah. Dan kemudian, hari-hari berjalan seperti biasa. Dari segi mental mereka begitu teruji. Para tetangga saya adalah para pejuang yang bahkan tidak pernah merasakan kemewahan bekerja dari rumah.  Sejak awal pandemi mereka tetap giat bekerja demi memenuhi nafkah keluarga.

Kawasan Industri, tempat mereka bekerja, tidak pernah libur. Apalagi bagi mereka yang bekerja di sektor produksi. Apa yang bisa kami kerjakan dari rumah semua alat ada di kantor, sebut mereka dalam beberapa obrolan.

Mereka bercerita tentang risiko yang mereka hadapi baik terpapar virus atau kehilangan pekerjaannya. Ketika ada rekan kerjanya yang positif, otomatis, perusahaan harus dihentikan dan produksi terhenti. Kondisi tersebut berpengaruh pada penghasilan yang mereka dapat. Yang saya lihat mereka sudah imun secara mental dan siap dengan berbagai risiko. Jaga jarak di lokasi kerja yang sempit misalnya sulit untuk dilakukan. 

Akhirnya, yang penting sehat dan bahagia, sebut mereka, sambil tertawa. Ada juga tetangga yang sudah berpindah keyakinan, awalnya percaya COVID-19 itu nyata, sekarang merasa bahwa COVID-19 hanya konspirasi belaka. Cara pemerintah mengelola informasi, menangani pasien, memperbanyak tes, menghentikan kerumunan membuat mereka lebih skeptis.

Beberapa tetangga lebih giat mencari sumber penghasilan lain. Ada yang berjualan pakaian, makanan atau kebutuhan rumah tangga. Adaptasi dan strategi baru tersebut dilakukan untuk bertahan hidup. Tidak ada yang dapat diandalkan kecuali diri sendiri, mungkin demikian yang ada di benak mereka. Hidup mesti terus berjalan meskipun sulit. Setiap orang punya cara untuk melawan pandemi.

Namun yang memprihatinkan, di saat warga yang kesulitan mencari penghidupan bertarung mencari penghidupan, kita masih saja menyaksikan perilaku elit yang tidak sensitif dan memalukan. Dua kasus yang menimpa Menteri yang sedang ditangani KPK menunjukkan ketidakpekaan elit kepada masyarakat yang serba sulit. Yang amat miris salah satu kasusnya terkait dana bansos yang seharusnya dinikmati warga yang hidupnya terhimpit.

Membaca kasus tersebut saya teringat salah satu teman yang bekerja di dinas sosial di salah satu kabupaten yang selama pandemi tidak pernah libur karena harus mendistribusikan dana bansos ke masyarakat. Beberapa kali ia harus bedrest karena kelelahan. Ia dan teman-teman di garda terdepan harus berjibaku dengan segala risiko. Namun, di saat mereka berjuang ada yang memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi.

Situasi ketika ada kalangan yang memanfaatkan situasi masyarakat yang terjepit tersebut sebetulnya pernah jadi catatan sejarah. Ravando (2020) dalam buku Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial, 1919 mengutip dari Harian Sin Po, 27 Desember 1918 "Moesti ingat itoe beras boeat toeloeng orang jang tida mampoe, akan tetapi sebaliknja kaloe timbanganja dikoerangin apa itoe namanja toeloeng? Kesian toch orang miskin!". 

Di masa tersebut ada juga orang-orang yang curang dan memanfaatkan situasi. Situasi yang tidak jauh berbeda dengan saat ini. Yang mengerikan yang curang saat ini adalah otoritas tertinggi yang harusnya mengayomi mereka yang terpinggirkan.

Melihat situasi tersebut, jelas saja sebagian masyarakat bergerilya secara mandiri. Mencari penghidupan lebih baik dengan caranya sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari), jika mengutip Bung Karno. Hidup harus terus berjalan, apapun yang terjadi, ada atau tidak pandemi COVID-19. Masyarakat memilih saling membantu bergotong royong di antara sesamanya. Ada banyak cerita di sekitar kita yang menunjukkan masyarakat begitu tangguh dengan caranya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun