Senja itu, aku belum mengerti bahwa jingga adalah pesona paling indah yang ditunggu oleh puluhan  juta penduduk bumi pada sore harinya entah untuk mengabadikankannya ataupun hanya untuk pelepas penat semata saja.  Aku masih mencari titik mempesona itu dan ikut menikmati jatuhnya jingga dalam pelukan langit secara mesra.
"Lihatlah, jingga itu indah. Penuh pesona meskipun hanya satu warna." Katanya dengan tegas.
Saat itu aku hanya menikmati saja, seolah-olah aku mengerti akan pesona dan bahasanya. Â Aku bukan penikmat asli senja, bukan juga pegangum rahasianya tapi aku hanya manusia yang ingin menikmati indahnya ciptaan yang maha kuasa. Mungkin suatu saat aku akan tergila-gila oleh pesona jingganya dan akan lebih menunggunya.
"kamu suka jingga pada senja atau aku yang membuatmu tertawa?". Â Lamunan ku pecah oleh tanyanya yang menyelidik batinku.
"kamu kenapa? Mengganggu saja". Ucapku untuk mengusir kesunyian  itu.
Kuliat ia sedang tertawa keras sebab sudah berhasil membuyarkan kenikmatanku pada senja.
"Aku sedang bercanda saja, aku ingin mengusikmu. Habisnya kau begitu menikmati senja itu sampai lupa bahwa aku ada disampingmu."
Dia aneh, sangat aneh aku sampai bingung kenapa punya teman seperti dia. Dan yang lebih anehnya lagi aku nyaman berteman dengan keanehannya dan lucunya aku sering sekali merasa kesal sendiri jika keanehannya itu tiba-tiba hilang dan mendadak menjadi pendiam seperti orang asing.Â
Karena bagiku sifat anehnyalah yang menjadi moosboster bagiku tiap kali berkomunikasi ataupun berbicara padanya.