Mohon tunggu...
Anggara Yusuf
Anggara Yusuf Mohon Tunggu... Lainnya - Mari Bercerita :)

Bissmillah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Nyawer Dalam Acara Mapag Pengantin di Perpisahan Sekolah MTSN 4 Pandeglang

3 Juli 2022   23:57 Diperbarui: 4 Juli 2022   13:24 1197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini lini masa media sosial saya dipenuhi dengan postingan anak-anak muda usia belasan tahun mengenakan baju kebaya dan berdandan menor ala pengantin.

Dengan caption "Happy Graduation" mereka mengunggah hasil  berpose  mereka di laman sosial media layaknya pengantin sungguhan. Jangan kaget dulu, mereka memang bukan pengantin sungghan, melainkan sebenarnya mereka hanyalah siswa-siswi sekolah yang sedang merayakan kelulusan.

Seperti pada umumnya di akhir tahun pelajaran, sekolah-sekolah di Indonsesia biasanya mengadakan acara perpisahan atau pelepasan siswa-siswi kelas 6 SD, 9 SMP, dan 12 SMA yang telah menyelesaikan masa studinya. Dalam istilah bahasa sunda acara perpisahan ini sering disebut acara "paturay tineung"  yang didalamnya memiliki beberapa rangkaian acara, salah satunya adalah prosesi Mapag pengantin yang di lakukan oleh Aki lengser.

            Sebenarnya apa sih Mapag Pengantin Itu?

Mapag pengantin adalah sebuah tradisi yang berkembang di tanah sunda. Istilah  Mapag pengantin ini memiliki arti sangat sederhana yaitu Menjemput pengantin. Dalam acara ini ada salah satu tokoh sentral yang sangat mempengaruhi jalannnya acara,  tokoh itu bernama Aki lengser.

Aki lengser adalah seorang kakek yang berperawakan bungkuk dengan memakai baju adat serba hitam. Dengan sarung yang di ikat di pinggang dan ikat kepala khas sunda serta di tambah beberapa aksesoris seperti batu cincin dan tas koja itulah ciri khas Aki lenngser. Selain itu, aki lengser harus mempunyai tingkah lucu dan unik.  

Tugas utama ki lengser adalah menjemput atau mengantarkan pengantin ke pelaminan. Biasanya dalam acara pelepasan sekolah yang menjadi pengantin adalah siswa-siswi yang menjadi lulusan terbaik pada tahun itu.

Dalam praktiknya ki lengser di temani asistennya dan juga beberapa penari yang akan melakukan tarian sesuai irama musik, biasanya musik khas sunda.

Tokoh  ki lengser pada acara pelepasan di MTS 4 Pandeglang kemarin di perankan oleh siswa kelas 7 yang bernama Ibnu. Acara berjalan dengan lancar, Ibnu berhasil memerankan lakon aki lengser dengan baik, hanya saja ada sedikit kekurangan dalam pembawaan mimik wajah dan lakuan, banyak lakuan yang kurang sinkron anatara pendubbing suara dengan lakon yang di peraankan oleh Ibnu. Tetapi dalam keseluruhann lakon aki lengser yang diperankan oleh Ibnu berhasil menghibur para tamu undangan.

Sebenarnya yang paling mengganjal dalam hati saya bukanlah tentang unsur pementasannya melainkan adalah praktik "nyawer" atau "Saweran" yang dilakukan oleh wali murid dalam acara  tersebut. Menurut saya, itu sangat mengganggu dan tak elok dipandang mata. Selain itu parktik saweran juga sangat menghambat proses jalannya pementasan, aplaagi ketika para penari memasuki lapangan, bayangkan saja jika penari itu ada lima orang, sudah pasti lima orang wali murid tersbut masuk ke lapangan untuk nyawer, belum lagi sanak famili yang ikut-ikutan nimbrung, semakin membuat ruang gerak para penari semakin  terbatas.

 Khawatirnya, fokus mereka menjadi terganggu sehingga pementasan menjadi tidak maksimal. Tidak hanya dalam prosesi aki lengser, praktik saweran juga muncul dalam sesi yang menurut saya sangat sakral yaitu sesi sungkeman Murid kepada gurunya. 

Layaknya dalam acara pernikahan, biasanya kedua pasangan siswa akan melakukan sungkem kepada Bapak/Ibu guru atau kepala sekolah yang berperan sebagai orang tuanya. Proses ini tentu membuat acara wisuda dan perpisahan sekolah menajdi semakin berkesan dan haru apalagi ditambah dengan iringan musik yang syahdu. Namun lagi-lagi prakitk saweran ini membuat acara sedikit terganggu. Padahal dalam sungkeman tersebut mengndung sarat makna dan pituah bijak yang bisa kita ambil. Namun bukaanya esensi yang kita dapat, kita malah disuguhkan dengan adegan saweran yang mengganggu dan menghambat jalaanya prosesi pementasan.

 Memang jika kita kaji lebih dalam, budaya saweran sudah ada sejak jaman dahulu. Nenek moyang suku sunda terdahulu melakukan saweran dengan menaburkan sejumlah benda-benda kecil seperti beras putih, kunyit, bermacam bunga rampai, uang logam, dan sirih kepada pengantin dan tentunya memiliki simbol dan filososfi tersendiri tentunya. 

Berbeda dengan saweran jaman sekarang yang notabennya lebih mengarah kepada menghambur-hamburkan uang dan adu gengsi. Sangat di sayangkan jika budaya semacam ini tetap eksis, bukannya nilai kesenian dan adat luhur yang kita dapatkan dari pementasan tersebut kita malah disuguhkan dengan adegan yang kurang bermanfat bahkan bisa saja merusak esensi dari pementasan itu sendiri. (AYI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun