Pada Juli 2014, sebuah tragedi mengejutkan terjadi di Massachusetts, Amerika Serikat. Seorang remaja berusia 18 tahun, Conrad Roy, ditemukan meninggal di dalam truknya akibat keracunan karbon monoksida. Namun yang membuat dunia terhenyak bukanlah cara ia pergi, melainkan peran sang kekasih, Michelle Carter, yang kala itu berusia 17 tahun.
Michelle tidak menusuk, tidak mencekik, tidak pula menyentuh tubuh Conrad secara langsung. Tetapi kata-kata yang ia kirimkan lewat pesan teks justru menjadi alat yang mendorong sang kekasih menuju kematian.
Kronologi: Kata-Kata yang Mematikan
Conrad sudah lama berjuang melawan depresi. Ia kerap bercerita pada Michelle tentang keinginannya untuk mengakhiri hidup. Alih-alih memberi harapan atau dukungan, Michelle justru meneguhkan niat gelap itu.
Dalam pesan-pesannya, ia terus mendorong Conrad untuk "melakukannya saja". Ketika Conrad sempat keluar dari truk karena ketakutan, Michelle menyuruhnya masuk kembali. Ia bahkan menenangkan dengan kalimat bahwa keluarganya akan "mengerti dan melanjutkan hidup" setelah kepergiannya.
Pada akhirnya, Conrad benar-benar pergi dengan cara yang disarankan, sementara Michelle tetap berada di rumahnya, menunggu kabar duka yang ia tahu pasti akan datang.
Persidangan yang Menggemparkan
Kasus ini kemudian dikenal sebagai Texting Suicide Case atau Kasus Bunuh Diri Lewat SMS. Michelle Carter didakwa dengan tuduhan involuntary manslaughter (pembunuhan tidak disengaja).
Di pengadilan, jaksa menghadirkan bukti pesan-pesan teks Michelle yang dianggap sebagai "dorongan aktif" untuk mengakhiri hidup Conrad. Salah satu bukti paling kuat adalah ketika ia memerintahkan Conrad yang sempat keluar truk untuk kembali masuk.
Tahun 2017, hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada Michelle. Ia dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara, meski akhirnya hanya menjalani sekitar 15 bulan. Vonis ini menimbulkan perdebatan luas di Amerika: apakah kata-kata bisa dianggap sebagai senjata pembunuh?
Refleksi: Kata-Kata Bisa Menyembuhkan, Tapi Juga Bisa Membunuh