"Buku adalah guru yang tak pernah letih berbicara, ia berbicara kepada hati yang mau mendengar, ia mengajarkan akal yang mau berpikir, dan ia menuntun jiwa yang mau mencari jalan pulang." -- Buya Hamka
(Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1, 1967)
Pemimpin dan Amanah Ilmu
Seorang pejabat bukanlah sekadar pemegang jabatan. Ia adalah penanggung jawab nasib rakyat, pengemban amanah yang kelak akan ditanya di hadapan Tuhan. Dan amanah itu tak mungkin dipikul dengan pundak kosong.
Buku hadir bukan sekadar sebagai bacaan, melainkan sebagai peta perjalanan. Pemimpin tanpa buku ibarat kapal tanpa kompas, terombang-ambing dalam gelombang zaman.
"Jika engkau ingin tahu masa depan sebuah bangsa, lihatlah apakah pemimpinnya dekat dengan buku atau justru dekat dengan pesta."
(Buya Hamka, Lembaga Budi, 1939)
Cermin Sejarah dalam Lembaran Buku
Dalam buku, sejarah berbicara. Ia berbisik dari halaman ke halaman: siapa yang pernah berjaya, siapa yang pernah jatuh, dan mengapa sebuah kerajaan bisa runtuh.
Bukankah kita telah membaca tentang jatuhnya Andalusia karena para pemimpin lebih sibuk dengan istana daripada perpustakaan?
(Philip K. Hitti, History of the Arabs, 1937)
Bukankah kita telah melihat Abbasiyah terbakar di Baghdad, ketika ilmu dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan?
(Ibn al-Athir, Al-Kamil fi al-Tarikh, abad ke-13)
Dan bukankah kita mengenal Sultan Abdul Hamid II, yang bertahan dengan gagah karena membaca zaman lebih dalam daripada musuh-musuhnya?
(Lord Kinross, The Ottoman Centuries, 1977)
Sejarah itu adalah guru. Barangsiapa enggan belajar darinya, ia sedang menunggu giliran untuk mengulang kesalahan yang sama.