Buku, Sahabat yang Menghidupkan Hati
Buku bukanlah tumpukan kertas yang membosankan. Ia adalah teman setia di kala sunyi, penasihat bijak saat bimbang, dan penghibur ketika dunia terasa sempit.
Seorang pejabat yang membaca buku akan belajar tentang kehidupan rakyatnya melalui kisah-kisah sederhana. Dari puisi ia belajar kelembutan. Dari filsafat ia belajar berpikir jauh. Dari sejarah ia belajar kehati-hatian.
"Pemimpin tanpa buku, ibarat matahari tanpa cahaya; ia ada, tetapi dunia tetap gelap."
(Buya Hamka, Renungan Tasawuf, 1972)
Membaca sebagai Tanda Rendah Hati
Tak ada yang lebih indah daripada seorang pemimpin yang sudi belajar. Ia tidak merasa paling tahu, tidak merasa paling benar. Sebab setiap buku adalah jendela yang menunjukkan betapa luasnya dunia, betapa kecilnya diri.
Membaca adalah tanda kerendahan hati.
Membaca adalah pengakuan bahwa ilmu tak pernah cukup.
Membaca adalah jalan untuk menyadari bahwa jabatan hanyalah sementara, tetapi ilmu akan tinggal bersama nama kita.
(Ali bin Abi Thalib, Nahj al-Balaghah)
Krisis terbesar bangsa ini bukan hanya soal ekonomi atau politik, melainkan krisis minat baca di kalangan pejabat. Banyak keputusan lahir tanpa landasan ilmu, kebijakan disusun lebih karena kepentingan sesaat daripada visi peradaban.
Inilah darurat kita: pejabat yang sibuk berbicara tetapi jarang membaca, rajin tampil di layar tetapi miskin gagasan, pandai membuat janji tetapi gagap menyusun strategi.
Bangsa yang dipimpin oleh pejabat yang lupa membaca akan kehilangan arah. Sebab kebijakan tanpa ilmu hanyalah taruhan nasib rakyat.
(Francis Bacon: "Reading maketh a full man, conference a ready man, and writing an exact man." -- Essays, 1625)