Mereka adalah generasi yang tidak sekadar menonton. Mereka membaca, menilai, lalu bersuara. Barangkali bahasa yang mereka gunakan berbeda, kadang dengan meme, sindiran halus, atau video singkat. Namun jangan remehkan. Di balik kelucuan, tersimpan kritik yang menusuk.
Buya Hamka pernah menulis, "Kalau hidup hanya untuk hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja hanya untuk bekerja, kera juga bekerja. Tetapi hidup ialah bekerja untuk ibadah dan amal." Maka aktivisme Gen Z pun bukan sekadar protes, melainkan wujud pengabdian pada bangsa.
Antara Kritik dan Santun
Dalam setiap gerakan, selalu ada yang khawatir: apakah aksi ini akan menimbulkan kekacauan? Apakah suara lantang akan berubah menjadi api yang membakar? Kekhawatiran itu wajar, tetapi jangan buru-buru menuduh. Aktivisme Gen Z lebih banyak didorong oleh semangat untuk memperbaiki, bukan merusak.
Lihatlah bagaimana mereka mengatur barisan, menjaga agar aspirasi tidak berubah menjadi anarki. Lihat pula bagaimana sebagian memilih membawa laptop, kamera, atau sekadar ponsel pintar untuk mendokumentasikan aksi. Ini tanda bahwa generasi ini sadar, sejarah harus dicatat, bukan dilupakan.
Di sinilah pentingnya kita memandang aktivisme Gen Z dengan bijak. Mereka mungkin masih belajar, mungkin ada salah ucap atau salah langkah. Tetapi bukankah embun juga sering jatuh di tanah yang becek sebelum menyuburkan bunga? Kesalahan adalah bagian dari tumbuh, asal tetap ada niat untuk memperbaiki.
Pelajaran dari Demonstrasi di Gedung DPR
Peristiwa demonstrasi di Gedung DPR baru-baru ini tidak boleh hanya dipandang sebagai keributan belaka. Ia adalah cermin dari keresahan generasi muda. Mereka menolak diam ketika merasa suara rakyat dikecilkan. Mereka memilih turun ke jalan, mengorbankan waktu kuliah dan kenyamanan pribadi demi suara bersama.
Di tengah kerumunan, seorang mahasiswa dengan almamater biru sempat berkata pada kawannya, "Kalau kita diam, siapa lagi yang bersuara? Tak ada yang sempurna, tapi setidaknya kita mencoba." Kalimat sederhana itu terdengar lirih, nyaris tenggelam oleh suara toa, tetapi menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya. Bukankah itulah inti aktivisme Gen Z kesadaran bahwa sekecil apa pun suara, tetap berharga bila diucapkan demi kebaikan bersama?
Inilah bukti bahwa demokrasi masih hidup. Demokrasi bukan hanya perdebatan di ruang parlemen, tetapi juga suara rakyat yang bergema di jalan. Aktivisme Gen Z mengajarkan bahwa demokrasi tidak boleh hanya dimiliki oleh elite, tetapi juga oleh rakyat jelata.
"Kala mentari terbit dari ufuk, embun masih tersisa di daun-daun hijau; begitulah pemuda belum matang sepenuhnya, tetapi cukup memberi sejuk bagi tanah yang gersang."