Mohon tunggu...
Angga
Angga Mohon Tunggu... Content Writer

Seorang penulis yang suka dengan dunia teknologi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Harus Kaya Dulu Baru Boleh Punya Anak?

8 Mei 2025   09:00 Diperbarui: 7 Mei 2025   11:19 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ayah dan Anak (Sumber: Unslash/Sebastián León Prado)

Belakangan ini, saya sering mendengar pendapat yang semakin populer: “Kalau belum kaya, jangan punya anak dulu.” Kalimat ini berseliweran di media sosial, jadi bahan diskusi, bahkan kadang disampaikan dengan nada tinggi seolah-olah itu adalah kebenaran mutlak.

Saya paham. Biaya hidup memang makin mahal. Sekolah, susu, rumah sakit, bahkan sekedar jalan-jalan pun sekarang serba dipikir ulang. Kekhawatiran itu nyata, dan saya tidak berniat meremehkannya. Tapi di sisi lain, saya juga merasa ada sesuatu yang keliru ketika narasi ini mulai dianggap satu-satunya kebenaran tanpa mempertanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi di baliknya.

Karena kalau dipikir-pikir, benarkah uang adalah syarat utama dan paling penting untuk menjadi orang tua?

Terdengar Logis, Tapi Terlalu Menyederhanakan

Saya tidak menyangkal bahwa membesarkan anak butuh biaya. Itu fakta. Tapi ketika kita menyederhanakan persoalan besar ini menjadi  rumus “punya anak = harus kaya dulu”, kita sebenarnya sedang mereduksi makna menjadi orang tua jadi sekedar urusan isi rekening. Seolah-olah tanggung jawab emosional, kesiapan mental, dan nilai-nilai hidup bisa dibeli dengan angka.

Celakanya, narasi ini sering dikaitkan dengan realita pahit yang memang terjadi. Anak-anak dari keluarga miskin dianggap lebih rentan mengalami kekerasan atau dieksploitasi. Mereka dijadikan contoh “dampak buruk” dari keputusan punya anak tanpa kesiapan finansial. Lalu dari situ, muncul opini ekstrem. “Kalau masih miskin, jangan punya anak dulu.”

Masalahnya, pandangan semacam ini terlalu menyederhanakan kenyataan. Seolah-olah kemiskinan adalah satu-satunya biang keladi, dan orang miskin otomatis tidak layak menjadi orang tua. Padahal, faktanya tidak sesederhana itu.

Kita tahu, ada banyak keluarga miskin yang tetap bisa mendidik anaknya dengan kasih sayang, integritas, dan kerja keras. Mereka mungkin tak punya rumah luas atau kendaraan pribadi. Tapi mereka punya waktu untuk mendengar, peluk untuk menenangkan, dan doa yang tak pernah putus. Mereka berjuang, bukan hanya secara ekonomi, tapi juga secara emosional.

Sebaliknya, tak sedikit anak dari keluarga kaya yang tumbuh dalam tekanan, merasa kesepian, atau bahkan menjadi korban kekerasan emosional karena ekspektasi orang tuanya yang terlalu tinggi. Ada juga yang kehilangan kehangatan keluarga karena orang tuanya terlalu sibuk mengejar karier, harta, dan pencapaian pribadi.

Jadi, apakah benar kekayaan adalah kunci utama menjadi orang tua yang baik? Atau kita sedang memakai narasi “harus kaya dulu” sebagai dalih untuk menutupi ketidaksiapan menghadapi tanggung jawab yang lebih besar?

Yang Lebih Penting dari Sekedar Uang: Komitmen

Saya percaya bahwa menjadi orang tua bukan tentang siap secara finansial saja, tapi juga siap secara mental, emosional, dan spiritual. Karena punya anak bukan seperti menunda membeli barang jika belum ada dananya. Anak adalah amanah hidup, bukan sekedar beban hidup tambahan. Mereka butuh kehadiran, bukan hanya materi. Mereka butuh pelukan saat takut, telinga yang mendengar saat sedih, dan kehadiran yang konsisten meski dunia sedang tidak baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun