Poligami menjadi perhatian utama dalam ranah hukum dan masyarakat Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia mengatur poligami melalui Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan poligami sebagai bentuk perkawinan yang sah dengan payung hukum jelas. Prosedur pelaksanaan poligami dalam undang-undang ini mensyaratkan suami untuk memperoleh izin dari istri, pejabat (khusus bagi Pegawai Negeri Sipil), dan pengadilan sebagai tahap akhir untuk mendapatkan izin poligami. Namun, pengadilan hanya akan memberikan izin apabila suami dapat memenuhi kriteria tertentu, yaitu jika istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, mengalami penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa istri seringkali diposisikan sebagai objek dalam praktik poligami, yang menimbulkan inkonsistensi karena asas perkawinan di Indonesia pada dasarnya adalah monogami, namun masih memberikan ruang bagi poligami.Â
Persyaratan ketat tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak istri dan memastikan keadilan dalam keluarga, termasuk kemampuan suami untuk memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anak secara adil. Meski demikian, poligami tetap menjadi isu kontroversial di masyarakat Indonesia karena dianggap bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan keadilan dalam rumah tangga.Â
Posisi istri sebagai objek dalam poligami ini tentu menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan psikologis. Banyak istri yang merasa dirugikan, baik secara emosional maupun hak-haknya dalam rumah tangga. Selain itu, poligami juga sering kali menjadi sumber konflik keluarga yang berdampak negatif terhadap anak-anak dan keharmonisan rumah tangga secara keseluruhan.
Keadilan merupakan prinsip fundamental yang harus ditegakkan karena ia menciptakan keseimbangan dengan memberikan hak dan kewajiban secara proporsional tanpa berlebihan maupun kekurangan. Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menyatakan bahwa "sesuatu yang paling adil untuk kelangsungan adalah yang berada di posisi tengah." Dengan pernyataan ini, hukum yang adil akan menyentuh berbagai aspek kehidupan secara bersamaan dan seimbang. Pernyataan Imam Fakhruddin ar-Razi ini menunjukkan bahwa dalam konteks hukum, keadilan memberikan fleksibilitas yang tinggi sehingga hukum dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan kondisi tempat, selama prinsip keadilan tetap dijaga.
Secara hukum, poligami di Indonesia memang diatur dan diperbolehkan dengan berbagai persyaratan yang ketat untuk melindungi hak-hak istri dan memastikan keadilan dalam rumah tangga. Namun, dalam praktiknya, poligami masih menimbulkan berbagai permasalahan dan kontroversi yang berkaitan dengan posisi perempuan, keadilan, dan konsistensi asas perkawinan monogami yang dianut negara. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pembuat kebijakan untuk terus mengevaluasi dan mengkaji regulasi poligami agar tidak hanya memenuhi aspek hukum formal, tetapi juga menjamin keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak perempuan dalam keluarga. Dengan demikian, poligami tidak hanya menjadi persoalan hukum semata, tetapi juga menjadi bagian dari upaya menciptakan keluarga yang harmonis, adil, dan sejahtera.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI