Poligami masih menjadi isu yang sensitif di kalangan masyarakat Muslim. Sebagian menganggapnya sebagai hak suami yang diizinkan oleh agama, sementara yang lain menilai poligami sebagai bentuk ketimpangan gender yang dilegalkan atas nama agama. Pertanyaannya adalah, apakah Islam benar-benar melegalkan poligami tanpa syarat, dan bagaimana posisi perempuan dalam praktik ini?
Isu poligami di tengah masyarakat kita tidak hanya berkaitan dengan aturan agama, tetapi juga melibatkan dinamika kekuasaan, keadilan gender, serta hak individu untuk memilih dalam lingkungan sosial yang sering kali belum setara. Oleh karena itu, ketika ada pihak yang mengkritisi praktik poligami, bukan berarti mereka menentang ajaran Islam. Kritik tersebut lebih ditujukan pada pelaksanaan poligami itu sendiri dan pada kenyataan bahwa sering kali ada pihak yang dirugikan dalam praktik tersebut.
Permasalahan utama yang kerap menjadi sorotan dalam diskusi tentang poligami adalah soal keadilan, yang menjadi syarat mutlak bagi praktik tersebut. Namun, penerapan keadilan secara ideal dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit untuk diwujudkan. Dalam kenyataannya, di Indonesia, poligami masih menjadi isu krusial dalam hukum keluarga, bahkan sering kali menjadi pemicu utama terjadinya perceraian.Â
Dalam agama Islam, aturan tentang pernikahan termasuk dalam ranah poligami merupakan sesuatu yang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu dan diatur dalam syariat Islam, seperti keadilan perlakuan terhadap istri-istri dan kemampuan untuk memberikan nafkah yang cukup bagi setiap istri dan anak-anaknya. Meskipun diizinkan, poligami tidak diwajibkan dan ada syarat-syarat ketat yang harus dipatuhi oleh suami yang ingin memiliki lebih dari satu istri.
Banyak perempuan yang merasa harus memberi izin suaminya menikah lagi karena takut diceraikan, takut malu di masyarakat, atau merasa tidak memiliki kekuatan ekonomi untuk menolak. Padahal, menurut Undang-Undang Perkawinan, persetujuan istri merupakan syarat sah secara hukum untuk melakukan poligami. Namun, apakah persetujuan itu benar-benar diberikan secara bebas dan tanpa tekanan? Ada pula wanita yang baru menyadari bahwa suaminya berpoligami setelah kabar tersebut viral di media sosial. Yang paling menyakitkan bukan hanya fakta pernikahan poligami itu, melainkan juga pengkhianatan, minimnya komunikasi, dan hilangnya rasa saling menghormati.
Lalu banyak juga kasus perceraian yang bermula dari praktik poligami, di mana istri pertama memilih untuk mengajukan gugatan cerai karena merasa kurang mendapatkan perhatian dan keadilan dari suami, serta tidak ingin diposisikan sebagai istri yang terabaikan. Beberapa penelitian sebelumnya juga telah mencoba membedah persoalan keadilan dalam poligami, baik dari sisi hukum maupun praktik sosial di masyarakat.
Menurut Ady Irawan (2019), kasus poligami yang terjadi saat ini seringkali sulit dilihat dari sudut pandang keadilan. Meskipun suami mungkin memiliki kemampuan finansial yang cukup, namun belum tentu mampu secara moral dalam membagi perhatian dan hak kepada istri-istrinya secara adil. Oleh karena itu, keputusan untuk menjalani poligami harus dipertimbangkan dengan sangat matang dan penuh kehati-hatian. Hal ini sejalan dengan penelitian Riyan Erwin Hidayat (2020) yang menyatakan bahwa poligami memang diperbolehkan dalam ajaran Islam, namun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Contohnya, Wahbah al-Zuail dan Muammad Syahrur memiliki interpretasi yang berbeda terkait tafsir Surah an-Nis' ayat 3 mengenai praktik poligami.
Seringkali kita hanya mengingat kalimat, "Islam memperbolehkan poligami hingga empat istri." Namun, tidak banyak yang melanjutkan ayat tersebut secara lengkap: "tetapi jika kamu takut tidak bisa berlaku adil, maka nikahilah hanya satu saja..."Â (QS An-Nisa: 3). Lebih lanjut, Allah SWT menegaskan: "Kamu tidak akan mampu berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat berusaha." (QS An-Nisa: 129).
Dari ayat-ayat ini, jelas bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai suatu keharusan atau anjuran utama, melainkan memberikan izin dengan syarat yang sangat ketat, yaitu mampu berlaku adil. Keadilan yang dimaksud bukan hanya terkait materi seperti nafkah atau tempat tinggal, melainkan juga mencakup rasa kasih sayang, perhatian, dan keseimbangan emosional bagi setiap istri.
Poligami dalam Islam sering dipandang sebagai wujud kasih sayang kepada perempuan. Namun, ketika ayat An-Nisa: 3 dibaca, banyak orang hanya fokus pada izin menikah dua, tiga, atau empat istri, tanpa melanjutkan membaca bahwa ketentuan tersebut hanya berlaku jika seseorang mampu berlaku adil kepada semua istri.
Para mufasir klasik seperti Imam Al-Tabari dan Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan keadilan dalam poligami secara lahiriah, seperti adil dalam hal nafkah, giliran malam, dan tempat tinggal. Namun, penafsiran kontemporer memperluas makna tersebut. Misalnya, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menegaskan bahwa keadilan juga mencakup tidak menyakiti secara batin, menjaga rasa aman istri, serta menghindari ketimpangan hati. Menurut beliau, Islam tidak menganjurkan poligami secara mutlak, melainkan hanya memberikan izin dalam kondisi darurat dengan syarat yang sangat berat, yaitu keadilan.
Selain itu, ulama seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida menyoroti bahwa konteks poligami pada masa Nabi berbeda jauh dengan saat ini. Pada zaman itu, banyak perempuan menjadi janda akibat perang, sehingga poligami berfungsi sebagai bentuk perlindungan sosial. Namun, di era modern, poligami lebih sering dilakukan karena alasan pribadi, yang seringkali menimbulkan luka bagi perempuan.
Dalam hukum perkawinan Indonesia, Pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur bahwa seorang suami yang ingin berpoligami harus mengajukan permohonan izin kepada pengadilan agama dengan memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, suami wajib mendapatkan persetujuan dari istri atau istri-istrinya. Kedua, suami harus mampu menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Ketiga, suami harus memberikan jaminan akan berlaku adil kepada istri-istri dan anak-anaknya. Namun, persetujuan istri tidak diperlukan jika istri tidak dapat dimintai persetujuan karena alasan tertentu, seperti tidak diketahui keberadaannya selama minimal dua tahun, atau karena kondisi istri yang tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai istri, mengalami cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau tidak dapat memiliki keturunan. Dalam hal ini, pengadilan agama akan menilai dan memberikan izin poligami berdasarkan bukti dan alasan yang sah. Namun, dalam praktiknya banyak poligami dilakukan secara siri, tanpa pengawasan hukum, tanpa restu istri, dan tanpa mekanisme perlindungan. Perempuan pun terjebak dalam relasi yang timpang, tanpa jalan keluar yang adil.