Di tengah derasnya arus modernisasi dan derasnya arus konten digital, kisah-kisah lama yang dahulu mengisi malam pengantar tidur atau cerita di lapau kini mulai menghilang dan ditinggalkan. Generasi muda tumbuh di era digital, di mana pengetahuan diwariskan bukan lagi lewat tutur lisan, tetapi lewat layar ponsel. Namun, di tengah perubahan itu, masih ada warisan budaya Minangkabau yang terus berdenyut pelan, yang sudah terdengar asing bagi generasi muda yaitu folklor. Folklor bukan sekadar cerita rakyat yang usang, tetapi sebuah pengetahuan hidup tentang bagaimana manusia menjaga alam dan dirinya sendiri.
Bagi orang Minangkabau, cerita rakyat atau kaba, hikayat, dan mitos bukan hanya hiburan. Ia adalah cara orang tua dahulu mengajarkan nilai-nilai kehidupan, menanamkan rasa hormat terhadap alam, dan menuntun perilaku sosial masyarakatnya. Sebagaimana falsafah “Alam takambang jadi guru,”masyarakat Minang percaya bahwa segala sesuatu yang ada di sekitar dapat menjadi sumber pelajaran. Maka, folklor lahir sebagai bentuk kesadaran ekologis dan moral yang diwariskan lintas generasi.
Sebagai Pengingat Bencana
Dalam tradisi Minangkabau, banyak mitos yang sebenarnya berakar pada pengalaman masyarakat menghadapi bencana. Misalnya kisah Tabuah Larangan di Balai Adat Tanjung Sawah, Malalo. Konon, alat musik tradisional itu akan berbunyi sendiri jika sedang terjadi huru-hara atau tanda bencana besar. Bagi masyarakat setempat, cerita itu bukan sekadar legenda supranatural, melainkan bentuk kearifan lokal untuk menjaga kewaspadaan. Dalam konteks modern, Tabuah Larangan dapat dimaknai sebagai simbol kesiapsiagaan sosial terhadap perubahan alam atau ancaman bencana.
Begitu pula dengan mitos Ikan Larangan ikan yang dianggap sakral dan tidak boleh ditangkap. Banyak daerah di Sumatera Barat memiliki kisah serupa. Larangan ini sebenarnya adalah cara tradisional untuk menjaga kelestarian ekosistem perairan. Dengan menanamkan rasa takut akan “kutukan,” nenek moyang mengatur agar sungai dan danau tidak dieksploitasi secara berlebihan. Sekilas tampak tak rasional, namun jika ditelusuri, mitos semacam itu justru berfungsi seperti undang-undang konservasi yang disepakati secara sosial.
Dalam era modern, pesan ekologis di balik mitos itu menjadi relevan kembali. Ketika banyak sungai kini tercemar limbah dan ikan-ikan menghilang, masyarakat mulai menyadari bahwa larangan-larangan tradisional itu bukan tahayul, melainkan bentuk pengetahuan ekologis lokal. Di sini, folklor bukan sekadar cerita masa lalu, melainkan panduan moral untuk menghadapi krisis lingkungan masa kini.
Melindungi Situs dan Alam
Selain menjaga ekosistem air, folklor Minangkabau juga berperan dalam melindungi alam darat. Mitos tentang rimbo larangan atau hutan terlarang, misalnya, berfungsi sebagai bentuk pengendalian terhadap eksploitasi alam. Hutan yang dianggap “angker” atau “berpenghuni” sebenarnya adalah kawasan konservasi alami. Dengan menciptakan narasi larangan spiritual, masyarakat tradisional berhasil melindungi sumber air, menjaga kesuburan tanah, dan mencegah longsor atau kekeringan.
Ada pula kepercayaan tentang beringin angker pohon besar yang tidak boleh ditebang karena akan membawa musibah. Sekilas ini tampak mistis, namun secara ekologis, beringin memang berperan besar dalam menjaga kelembapan dan menahan erosi tanah. Jadi, di balik ketakutan terhadap “kutukan,” tersimpan logika ekologis yang canggih. Masyarakat adat mengemas pengetahuan lingkungan ke dalam bentuk simbol dan cerita agar mudah diterima serta diingat oleh masyarakat luas.