Mohon tunggu...
Andy saliwu
Andy saliwu Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Orang biasa yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Desa Kokoe Bukan Tanah Jajahan (Bagian 1)

23 April 2021   16:09 Diperbarui: 24 April 2021   10:56 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebaik-baiknya warga negara adalah mereka yang taat hukum tanpa mendahulukan jabatan, embel-embel politik, apalagi doktrin ketokohan yang kolot.

Masih ingat perdebatan antara Aliansi Masyarakat Talaga Raya Bersatu (AMTRB) VS Ketua DPRD Buteng di kanal media pekan ini? perdebatan yang solah-olah  di framing siapa yang lebih baik atas nama publik desa kokoe padahal ritme keduanya mengalami fallacy dengan menegasikan perkara hukum yang sesungguhnya.

Lalu di mana posisi nalar kita harus berpijak, apakah kita harus bersepakat pada wacana yang digiring oleh AMTRB yang mengatasnamakan masyarakat itu, atau pada Ketua DPRD Buteng yang mengajukan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan persentase 70:30 untuk pembagian dana Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) milik desa Kokoe yang harusnya tidak dibagi dengan alasan apapun kecuali regulasi.

"
Sebagai Publik, Mari Mengejah Perkara Itu Dengan Nalar Yang  Sehat" !

Adalah benar, jika PT. Anugrah Harismah Barakah (AHB) berkewajiban untuk mengucurkan dana Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) untuk desa Kokoe sebagai desa terdampak langsung akibat eksplorasi tamabang.

Dasar tentang peruntuhan dana tersebut telah diatur dalam Keputusan Gubernur No. 704 Tahun 2019 Tentang Program Blue Print. Yang Teknisnya diperjelas melalui dokumen rincian alokasi Rencana Induk PPM PT. AHB Tahun 2020-2024.

Dalam dokumen legal tersebut, Tertera hanya ada dua wilayah yang diwajibkan untuk menerima hak dana PPM dari PT AHB. Yang pertama adalah Desa Kokoe sebagai Ring 1 (Kab. Buteng) dan desa pongkalaero sebagai ring 2 (Kab. Bombana) artinya, Jika di buteng ada desa atau pihak manapun yang ikut merima dana tersebut maka kucuran dana tersebut telah menabrak ketentuan hukum yang ada Sebab desa Kokoe adalah pihak tunggal  penerima hak dalam sekop buteng. 

Pada tahun pertama (2020) peruntuhan dana itu berjalan normal tanpa tedeng aling-aling yang menggerutu dari berbagai pihak. setelah memasuki tahapan pencairan tahun kedua (2021) konstalasi tiba-tiba berubah, kucuran yang harusnya sudah ditunaikan karena bersifat wajib malah mandek lanataran ada riak yang diinisiasi oleh gerbong AMTRB dengan asumsi ada hak warga juga yang harus ditunaikan oleh perusahaan.

Sialnya Komisi III DPRD Buteng dalam forum RDP malah membuat putusan yang menjauhkan api dari panggang dengan melakukan pembagian dana PPM 70% untuk Desa Kokoe, dan 30% untuk semua desa yang ada pada wilayah Kecamatan Talaga Raya, termaksud Kecamatan dan Muspika. Yang pada dasarnya simpulan pembagian dalam RDP itu telah keliru, karena dalam amanat blueprint harusnya 100% dana PPM itu murni milik Desa kokoe tanpa bagi-bagi. fatalnya lagi, AMTRB yang merasa mewakili masyarakat itu malah keberatan dengan simpulan RDP tingkat kabupaten, akhirnya mengajukan RDP kembali ditingkat propinsi. Imbasnya Hal tersebut menjadi dasar PT. AHB untuk menangguhkan kewajibannya kepada Desa Kokoe dalam hal ini adalah tanggung jawab pembayaran PPM yang harusnya sudah ditunaikan.

Dalam skema pencairan PPM tahap kedua tersebut kita dituntun pada 3 temuan hal yang patalogis dan inkonstitusional. Pertama PT. AHB tidak menjalankan kewajibannya terhadap Desa kokoe, kedua Perjuangan AMTRB menjadi ambivalency karna masyarakat yang disuarakan sangat abstrak, ketiga simpulan DPRD Buteng tentang pembagian PPM  70:30 harusnya tidak menjadi rujukan untuk pembagian dana PPM, singkatnya RDP yang dihasilkan oleh DPR kabupaten hanya bersifat sebagai usulan. 

Lantas bagaimana kita menyikapi  hal itu, mari kita buat analisis sederhana : Jika gerbong AMTRB ingin melakukan RDP ditingkat propinsi sebagai usulan atas perubahan Putusan Gubernur no. 704 dan RIPPM,atau bentuk tidak sepakat atas RDP kabupaten, itu fine-fine saja, pun jika blueprint itu belum ditinjau juga, harusya AMTRB menyusun langka sesuai mekanisme hukum untuk menggugat aturan tersebut tetapi dengan catatan  hak dana PPM Desa Kokoe yang beralas pada hukum yang masih berlaku itu harus tetap dihargai lalu dipatuhi.

Demikian dengan simpulan RDP di tingkat kabupaten yang menghasilkan pembagian dana 70:30 itu juga bersifat usulan bukan sebagai antitesa dari aturan yang sudah ditetapkan dalam hal ini blueprint. Lojiknya, hukum seperti apa yang membuat hasil RDP melampaui putusan yang masih berlaku. lagi pula Tugas DPR harusnya menertibkan kebijakan yang telah berjalan, bukan malah mematahkan hirarki hukum yang lebih tinggi dengan alas RDP, karena jika napas RDP itu dijalankan DPRD kita bukan hanya tak paham soal trias politika, tapi juga merongrongnya dengan cara yang kolot. Terakhir, apakah dalih PT. AHB menjadi benar jika pihaknya menunda pembayaran karena alasan riak-riak. Tentu tidak, karena jika alat ujinya adalah hukum maka alasan PT. AHB adalah inkonstitusional. buakan hanya menyangkut pengingkaran terhadap putusan guberbur No.704, PERMEN ESDM No. 25 tahun 2018   PERMEN ESDM No. 26 tahun 2018 juga telah diabaikan. 

Lalu bagaimana kita menemu jalan keluar dari onak dan kacauan itu. jawabannya hanya satu yaitu "MENDUDUKAN HUKUM SEBAGAI PANGLIMA KEADILAN  sebab desa kokoe  memang bukan tanah jajahan oleh siapa-siapa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun