Mohon tunggu...
Andy Fitrianto
Andy Fitrianto Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang waktu kecil pengen jadi baja hitam robo

a father, a teacher, a runner

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jangan Undang Aku di Pernikahanmu!

27 Februari 2024   09:05 Diperbarui: 27 Februari 2024   09:13 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dulu kita pernah berjanji untuk mengukir nama kita di sebuah undangan pernikahan berwarna biru muda. Janji itu benar-benar engkau tunaikan walaupun tak sesuai yang aku harapkan. Namaku tidak ditulis di kolom mempelai yang berbahagia, melainkan di halaman depan dengan imbuhan "kepada"

Ah, undangan  warna biru muda itu masih saya ingat jelas hingga kini. Tapi bukan perkara itu yang ingin saya ceritakan dalam tulisan kali ini, tapi tentang undangan lain yang juga berwarna biru muda dan memberi kesan kesedihan yang sama.

2 minggu lalu hati saya bergembira. Siswa kelas IX di tempat saya bertugas tinggal menyisakan 3 bulan lagi aktif bersekolah dan dari jumlah siswa kelas IX tersebut, semuanya masih tetap utuh tidak berkurang satu orang pun dari sejak pertama kali masuk. Jika ini bisa di pertahankan, mereka akan jadi Angkatan satu-satunya yang tidak mencetak angka putus sekolah sepanjang sepuluh tahun tugas saya menjadi guru. Mereka selalu saya sanjung, saya beri motivasi dan saya pantau agar rekor bagus ini dapat diwujudkan pada akhir tahun pelajaran ini. Untuk menguatkan mereka agar berada di jalur yang benar saya bahkan pernah berucap, "Jangan ada yang berhenti sekolah, apalagi karena menikah. Jika itu terjadi, jangan undang bapak di pernikahan kalian, bapak tak sudi hadir!".

Tapi harapan tinggal harapan. Segala puji dan ekspektasi tadi pupus sudah. Pagi itu surat undangan biru muda hadir lagi didepan mata. Dengan nama salah satu siswi di dalamnya. Terduduk saya meratapi, mengapa hal seperti ini selalu terjadi di setiap generasi?!

UNICEF (2020) melaporkan bahwa pada tahun 2018, satu dari sembilan anak perempuan Indonesia menikah. Jumlah perempuan umur 20 sampai 24 yang menikah sebelum berumur 18 pada tahun itu diperkirakan mencapai 1.220.900 orang, menjadikan Indonesia sebagai satu dari sepuluh negara dengan nilai jumlah absolut tertinggi di dunia untuk perkawinan usia anak.

Mengapa mencegah pernikahan dini sebegitu pentingnya? Bagi saya sebagai seorang guru, mencegah anak putus sekolah adalah Key Performance Index yang walaupun tidak dihitung dan dianggap, namun tetap menjadi  sebuah angka yang patut untuk dicapai. Kabupaten Belitung Timur mencanangkan program Yuk Sekula. Sebuah program yang menargetkan agar setiap anak usia sekolah di Belitung Timur harus menyelesaikan Pendidikan hingga jenjang SMA. Sebenarnya ini adalah program yang linear dengan program pemerintah pusat tentang wajib belajar 12 tahun, namun menjadi lebih spesial karena memang menjadi fokus utama Bupati Belitung Timur.  Angka putus sekolah selalu dipantau secara berkala dan bahkan oleh Bupati secara langsung. 

Pada beberapa kasus, berhentinya anak sekolah bisa dicegah bahkan bisa agak "dipaksakan" untuk bersekolah kembali bagi yang sudah kadung berhenti. Namun pada kasus pernikahan dini, hal ini tidak dapat direstorasi. Anak yang telah memutuskan untuk menikah telah terikat kepada janji suci berkeluarga dan pengawasan ketat dari Masyarakat. Tidak mungkin membuat mereka Kembali bersekolah ketika telah usai akad nikah. Alhasil, kasus pernikahan dini adalah kasus Drop Out tersulit yang harus dilakukan upaya-upaya pencegahan kerena sekali hal ini terjadi, tak ada jalan untuk kembali.

Ketika seorang siswi berhenti sekolah kerena menikah, maka fase berikutnya yang tidak terelakkan adalah fase berkeluarga. Suatu situasi dimana mereka akan menjadi ibu dalam usia yang masih sangat muda. Acapkali kita dengar bahwa pernikahan di usia muda akan memberikan banyak dampak negatif baik dari segi biologis dimana siswi belum mencapai tumbuh kembang biologis yang sempurna, atapun dari psikologis dimana jiwa kekanak-kanakan mereka masih dominan dan memang sepatutnya di beri kesempatan berkembang. Namun bagi saya pribadi, salah satu kerugian terbesar dari pernikahan usia dini adalah hilangnya kesempatan bagi setiap siswi tersebut untuk menjadi manusia terdidik. 

Memang ilmu pengetahuan bisa didapatkan dimana saja, tapi menjadi manusia terdidik yang ditumbuh kembangkan dalam lingkungan akademis formal yang teratur dan terstruktur tidak akan pernah bisa tergantikan. Ada pembelajaran moral, ada pembelajaran akademis, dan tentu saja ada interaksi sosial yang hilang ketika mereka memutuskan berhenti sekolah di usia dini. Alhasil, pada sisa-sisa waktu mereka menuju dewasa, mereka tidak akan terpapar nilai-nilai formal pendidikan melainkan nilai-nilai lain yang tak dapat dipantau ataupun dipertanggungjawabkan. Padahal, menjadi seorang ibu yang terdidik adalah hal paling penting dalam menciptakan peradaban yang lebih baik. Karena pada dasarnya, pendidikan adalah tanggungjawab semua manusia terdidik, terutama seorang ibu yang merupakan sekolah pertama setiap insan manusia yang lahir kedunia.

 Pendidikan terbaik adalah pendidikan yang dilakukan bersama-sama baik oleh orang tua, Institusi pendidikan dan juga masyarakat. Bayangkan, jika setiap anak di negara ini dapat di didik dengan baik dan benar oleh para ibu hebat yang juga terdidik, maka pendidikan akan menjadi sebuah usaha holistik yang saling berkaitan dan saling menguatkan. Sehingga, bagamanapun juga, harus kita usahakan bersama agar tak ada lagi pernikahan di usia sekolah. Cukup sudah disini, dan jangan sampai undangan biru muda datang kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun