Jejak sejarah jamu di Nusantara mulai dikenal sejak abad ke-5, pahatan relief di candi Borobudur dan Prambanan  mencatat pula keberadaan jamu di tengah masyarakat yang digambarkan sebagai ramuan obat herbal.
Melalui catatan sejarah tersebut dapat ditarik benang merah, jika penggunaan kekayaan alam berupa hasil rempah-rempah menjadi bahan dasar ramuan jamu, yang berkhasiat bagi kesehatan tubuh, seperti mengobati penyakit dan memelihara kesehatan masyarakat sejak masa lampau.
Perjalanan jamu berkembang memasuki era Kerajaan Mataram Islam dan menyebar melalui praktik "jamu gendong", di mana jamu dijajakan secara keliling dan penjualnya membawa bakul berisi berbagai racikan herbal, sampai masa kini di Yogyakarta, jamu dengan mudah ditemui.
Filosofi Jamu Ginggang, Tradisi Keraton
Perjalanan saya kali ini di Yogyakarta tak hanya menyusuri Malioboro namun langkah saya menuju ke sebuah kedai jamu di Jalan Masjid Nomor 32, Pakualaman, namanya Jamu Ginggang. Kedai ini sudah ada sejak tahun 1950, selama 75 tahun tetap konsisten mempertahankan resep lawas andalannya.
Sebetulnya istilah jamu ginggang di Yogyakarta sangat panjang kisahnya, istilah ginggang merupakan bahasa Jawa yang artinya bergerak, mengacu kepada cara para penjual jamu di zaman dahulu yang berkeliling berpindah tempat, mengajarkan perlunya sikap ulet untuk mencari nafkah, tidak hanya diam menunggu pembeli datang.
Ciri Khas dan Manfaat Jamu Ginggang
Saya merasa sangat beruntung bisa mengunjungi kedai legendaris ini, nuansa Jawa klasik sangat kental mulai dari bentuk bangunan, pintu kedai hingga etalase dan perabotan kursi meja, masih terlihat utuh seperti sejak semula kedai ini didirikan.