Mohon tunggu...
andry natawijaya
andry natawijaya Mohon Tunggu... Konsultan - apa yang kutulis tetap tertulis..

good.morningandry@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

''The Enemy Inside''

12 Januari 2018   20:29 Diperbarui: 12 Januari 2018   20:33 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber foto : dailymotion.com)

Suatu siang di penghujung bulan Februari 2017, saya saat itu sedang singgah di Pasar Beringharjo yang merupakan pusat perdagangan batik terkenal di Yogyakarta. Secara sengaja saya bertanya ke beberapa penjual batik di sana, saya memang mencari batik wayang bergambar tokoh wayang jahat di kisah Mahabarata, yaitu Sengkuni. Dan memang tidak ada satu penjual pun yang menjual batik bergambar Sengkuni. Salah satu penjual batik di Pasar Beringharjo malah ada yang berkata, "Ndak ada toh mas, yang mau jual batik gambar wayang jahat, lha wong ndakada yang beli juga. Ini aja mas yang aneh, nyari yang jahat."

Sengkuni memang digolongkan sebagai tokoh antagonis di kisah Mahabarata. Tetapi saya justru tertarik dengan karakter Sengkuni. Setelah saya membaca dan mencoba memahami kisah Mahabarata, memang nyaris tidak ada hal yang baik yang diceritakan terkait Sengkuni. Yang dikisahkan dari Sengkuni identik dengan fitnah, hasutan, kebencian, kejahatan, iri hati dan kebohongan. 

Dan ternyata dikisahkan pula bahwa Sengkuni sangat mahir dan gemar bermain dadu. Memang, melalui perjudian dadu akhirnya Sengkuni berhasil menipu Yudistira yang akhirnya membuat Pandawa menjalani masa pengasingan di hutan.

Mungkin satu-satunya hal yang positif dari Sengkuni adalah kesetiaan dan kecintaannya yang mendalam kepada adik perempuannya, Gandari. Sengkuni dendam karena keluarganya terlanjur menerima lamaran dari Dasarata, pangeran tunanetra dari kerajaan Hastinapura. Gandari yang setia memang mau menerima jalan hidupnya sebagai pendamping dari Dasarata yang tunanetra, dan memutuskan untuk menutup matanya dengan kain seumur hidupnya. 

Namun Sengkuni merasa terhina dan menganggap itu adalah keputusan yang salah. Sehingga Sengkuni memiliki niat untuk menghancurkan Hastinapura dengan cara mengabdi kepada kerajaan Hastinapura dan dari situ Sengkuni menyebarkan bibit perpecahan antara Pandawa dan Kurawa. Sengkuni menjadi pengikut setia sampai mati di kubu Kurawa tetapi sesungguhnya Sengkuni merupakan musuh di dalam lingkaran kubu Kurawa yang memang berniat menghancurkan Hastinapura. 

Sangat menarik, cinta dan kesetiaan yang sangat mendalam ternyata dapat menyeret manusia kepada sifat seperti yang ditunjukkan oleh Sengkuni. Mungkin kisah Mahabarata tidak akan pernah ada kelanjutannya sampai dengan akhir perang Baratayuda jika Sengkuni tidak memerankan perannya dengan baik.


***

Kebaikan dan kejahatan merupakan dua sisi yang berbeda dan saling bermusuhan, tetapi justru kedua elemen ini melekat dalam kehidupan umat manusia. Jika aliran Zoroastrianisme mengungkapkan bahwa alam semesta ini merupakan medan pertempuran antara dua sisi yaitu kebaikan yang disebut dengan Ahura Mazda dan kejahatan yang disebut dengan Ahriman. Penggambaran ini merupakan hal yang berlaku umum di semua aliran kepercayaan atau agama, di mana ada pertentangan antara yang baik dan yang buruk.

Jika direnungkan lebih lanjut sebetulnya pertentangan antara kebaikan dan kejahatan itu terjadi pula dalam diri kita masing-masing, kedua sifat yang bertentangan itu dari semula memang telah ditakdirkan untuk saling bermusuhan. Kita semua memiliki sisi baik dan sisi jahat, tergantung ada di sisi mana kita berada, jika kita memilih untuk berpihak pada sisi baik, maka kita akan menganggap sisi jahat merupakan hal yang perlu dihindari, dilawan, sebagai musuh. 

Sebaliknya jika kita berpijak pada sisi jahat, maka kita akan merasakan sisi baik merupakan hal yang mengganjal atau menghambat, juga sebagai musuh. Dalam prinsip keseimbangan yang diajarkan oleh aliran Dao, melalui filosofi yin dan yang, kita dapat mencoba untuk memahami kedua sisi yang bertentangan ini, setidaknya dalam diri kita sendiri. Kita dapat mengenal hal yang baik ketika kita mengerti hal yang jahat. 

Dan kita dapat memahami hal yang jahat setelah kita mengetahui hal yang baik.

Seorang penjahat yang paling jahat sekalipun bisa melakukan kebaikan, setidaknya ketika ia merasa harus melakukan sesuatu untuk orang yang dikasihinya. Demikian pula orang yang kita anggap sangat baik, dapat pula berbuat jahat. Ajaran agama mengajarkan bahwa manusia perlu berbuat baik, karena dengan menanam kebaikan kita akan memetik hasil yang baik. Tetapi jika kita menebar kejahatan maka kita akan memperoleh hasil dari kejahatan yang kita lakukan.

Sebetulnya jika kita renungkan, intisari dari praktek ajaran agama yang mendorong agar kita berbuat baik dan mengalahkan musuh dalam diri kita yaitu kejahatan adalah pengendalian diri. Sidharta Gautama mengajarkan, "Jika seseorang berhasil menaklukkan 1000 musuh dalam 1000 perperangan dan seseorang yang satu lagi berhasil menaklukkan dirinya sendiri,ia adalah penakluk yang sebenarnya". Sesungguhnya musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri, yaitu sisi jahat yang ada dalam diri kita.

Ketika kita dapat mengenal diri kita sendiri, mengendalikan diri, mengalahkan ego dan sifat keras kepala kita, lalu mengamalkan kasih terhadap sesama, itulah tindakan nyata dari seluruh ajaran yang mengajarkan kebaikan bagi umat manusia.

Sun Tzu seorang ahli strategi dari jaman Cina kuno mengatakan, "Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran." Sikap pengendalian diri merupakan tindakan yang dapat memberikan harmonisasi dan keseimbangan bagi hidup kita, setidaknya itu yang saya artikan dari filosofi yang diungkapkan Sun Tzu.

Tulisan ini bukan merupakan ceramah agama, karena saya bukan seorang rohaniwan. Bukan pula petuah bijaksana, karena saya adalah orang yang ugal-ugalan. Juga bukan filsafat, karena saya justru bingung dengan segala filosofi yang diajarkan para filsuf. Yang saya ungkapkan pada artikel ini hanya merupakan buah dari renungan saya bahwa ternyata kita semua memiliki musuh di dalam diri kita sendiri.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun