Beberapa pekan ini, berbagai indikator yang dihasilkan Badan Pusat Statistik (BPS) seperti angka pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, hingga data pengangguran, kerap menjadi bahan perdebatan. Sebagian kalangan menilai angka yang dipublikasikan BPS tidak sesuai dengan "realita di lapangan". Ada yang membandingkan angka kemiskinan dengan banyaknya orang yang masih kesulitan membeli kebutuhan pokok, atau mempertanyakan bagaimana ekonomi dikatakan tumbuh ketika usaha kecil mereka belum merasakan peningkatan pendapatan. Kritik semacam ini wajar muncul, tetapi seringkali lahir dari kurangnya pemahaman tentang bagaimana data statistik dikumpulkan, diolah, dan diinterpretasikan.
Sumber Data yang Beragam
BPS tidak bekerja dengan satu cara saja dalam menghasilkan data. Ada berbagai sumber yang digunakan, mulai dari survei dan sensus, kompilasi produk administrasi, big data, hingga sumber sah lainnya.
- Survei dan sensus adalah metode yang paling dikenal. Misalnya Sensus Penduduk 2020, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), hingga Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas).
- Produk administrasi misalnya data dari kementerian atau lembaga lain, seperti catatan pendidikan dari Kemendikbud, data kesehatan dari Kemenkes, atau data kependudukan dari Dukcapil.
- Big data mulai dimanfaatkan untuk memperkaya statistik, misalnya data harga dari marketplace online atau data mobilitas dari penyedia layanan digital.
Keragaman sumber ini bertujuan untuk memperluas cakupan sekaligus meningkatkan kualitas informasi. Namun tentu setiap sumber punya keterbatasan dan perlu metode ilmiah agar dapat diolah menjadi indikator resmi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Proses Survei dan Peran GSBPM
Dalam dunia statistik internasional, ada acuan yang disebut Generic Statistical Business Process Model (GSBPM). Model ini digunakan oleh BPS dalam setiap kegiatan survei dan sensus. GSBPM memastikan bahwa proses statistik dilakukan secara sistematis, mulai dari perencanaan, desain, pengumpulan data, pengolahan, analisis, hingga penyebarluasan hasil.
Di dalam proses survei, terdapat dua pihak penting: petugas lapangan (interviewer) dan responden.
- Petugas lapangan adalah ujung tombak. Mereka direkrut dan dilatih melalui prosedur baku (SOP) agar mampu memahami instrumen survei, teknik wawancara, serta etika pengumpulan data. Tujuannya untuk menjamin kualitas data yang dikumpulkan.
- Responden adalah produsen data sesungguhnya. Mereka dipilih melalui proses acak dengan metodologi ilmiah, sehingga mewakili kondisi populasi secara keseluruhan. Dengan cara ini, jawaban dari sejumlah responden yang terbatas bisa digeneralisasi untuk menggambarkan kondisi jutaan orang.
Namun di lapangan, tidak selalu mulus. Ada responden yang kurang kooperatif, bahkan menolak untuk diwawancarai. Alasan yang sering muncul adalah kekhawatiran terkait privasi data pribadi. Padahal, dalam Undang-Undang Statistik dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UUDP) sudah diatur secara jelas: kegiatan statistik mendapat pengecualian tertentu demi kepentingan publik, dan kerahasiaan data individu dijamin sepenuhnya. Artinya, jawaban responden tidak akan pernah ditampilkan per orang, melainkan selalu dalam bentuk agregat.
Jika responden enggan atau menolak, maka kualitas data tentu terpengaruh. Indikator yang dihasilkan bisa kurang mencerminkan kondisi sebenarnya. Hal ini perlu dipahami publik agar tidak semata-mata meragukan kinerja BPS ketika angka resmi terasa "jauh" dari pengalaman pribadi.
Antara Angka dan Realita
Mengapa masyarakat sering merasa angka BPS tidak sesuai dengan kenyataan? Ada beberapa hal yang perlu dilihat:
- Perbedaan perspektif -- Data statistik berbicara tentang rata-rata atau kecenderungan umum, bukan pengalaman individu. Misalnya, tingkat kemiskinan dihitung berdasarkan garis tertentu. Bisa jadi seseorang merasa miskin meski secara definisi statistik ia tidak termasuk kategori miskin, atau sebaliknya.
- Dimensi waktu -- Data statistik biasanya dirilis secara periodik (triwulanan atau tahunan). Perubahan di lapangan bisa terasa lebih cepat dibandingkan jadwal publikasi data.
- Keterbatasan indikator -- Tidak semua aspek kehidupan bisa langsung diukur dengan angka. Indikator yang ada adalah representasi, bukan potret menyeluruh.