Dalam perjalanan sejarah Nusantara, tidak sedikit raja dan pemimpin besar yang dikenal karena kejayaan militernya atau karena memperluas wilayah kekuasaan. Namun, hanya segelintir yang dikenang karena keteguhannya mempertahankan nilai-nilai budaya, spiritual, dan identitas bangsanya dalam menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat dan penuh tekanan.Â
Salah satu sosok yang layak mendapatkan penghormatan ini adalah Prabu Surawisesa, Raja Pajajaran yang memerintah dari tahun 1521 hingga 1535 M.
Surawisesa bukan hanya pemimpin biasa. Ia tampil di masa yang penuh gejolak: ketika agama Islam tengah menyebar pesat di tanah Jawa, dan ketika kekuatan Eropa, dalam hal ini Portugis mulai menjajaki dominasi mereka di jalur perdagangan laut Nusantara.Â
Dalam tekanan yang datang dari segala arah, ia tidak lari dari tanggung jawab. Ia memilih untuk bertahan, berjuang, dan menjaga martabat leluhurnya.
Siapa Sebenarnya Prabu Surawisesa?
Prabu Surawisesa merupakan putra dari Sri Baduga Maharaja, lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi, tokoh legendaris dalam sejarah Sunda dan Mayang Sunda, permaisuri keduanya. Sebelum menjadi raja, Surawisesa telah mendapat kepercayaan besar dengan ditugaskan memimpin Sunda Kalapa, pelabuhan utama yang kini dikenal sebagai Jakarta.
Ketika Prabu Siliwangi wafat pada tahun 1521, Surawisesa diangkat menjadi raja Pajajaran. Namun, masa pemerintahannya tidak dimulai dalam suasana damai. Kekuasaan Pajajaran mulai terdesak oleh pengaruh Islam dari arah timur melalui Kesultanan Cirebon dan Demak.Â
Di sisi lain, bangsa Portugis yang telah lama mengincar jalur perdagangan rempah-rempah juga mulai menampakkan ambisinya di wilayah pesisir barat Jawa.
Kepemimpinan di Tengah Badai: Perang dan Keteguhan Hati
Sepanjang 14 tahun pemerintahannya, Prabu Surawisesa tercatat melakukan 15 kali pertempuran untuk mempertahankan eksistensi Pajajaran. Catatan ini menunjukkan betapa besar tekanan yang ia hadapi, sekaligus keberanian dan keteguhannya sebagai pemimpin.Â
Dalam naskah kuno Carita Parahyangan, ia digambarkan dengan tiga kata kunci:Â kasuran (berani), kadiran (perkasa), dan kuwanen (pemberani).
Namun, perjuangan Surawisesa tidak hanya melawan kekuatan luar. Di dalam kerajaannya sendiri, mulai terjadi fragmentasi kekuasaan. Beberapa daerah taklukan Pajajaran secara perlahan melepaskan diri dan memilih masuk ke dalam lingkaran pengaruh kerajaan Islam yang tumbuh.Â