Surawisesa dihadapkan pada dilema antara mempertahankan loyalitas internal dan menjaga batas luar kerajaannya.
Diplomasi: Jalan Lain untuk Bertahan
Prabu Surawisesa juga dikenal karena kemampuannya dalam membaca situasi geopolitik. Salah satu langkah diplomatik penting yang ia tempuh adalah menjalin perjanjian dengan Portugis pada tahun 1522.Â
Dalam perjanjian ini, Portugis diberikan izin untuk membangun benteng di Sunda Kalapa. Tujuannya adalah agar mereka bisa membantu mempertahankan pelabuhan penting tersebut dari ancaman ekspansi kerajaan Islam dari timur.
Perjanjian ini mencerminkan strategi kepemimpinan yang tidak semata-mata mengandalkan kekuatan militer. Surawisesa memahami pentingnya kerja sama internasional, bahkan di masa di mana komunikasi dan pergerakan sangat terbatas.Â
Sayangnya, bantuan Portugis datang terlambat. Pada tahun 1527, pasukan Fatahillah berhasil merebut Sunda Kalapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta.
Meski demikian, langkah diplomatik Surawisesa tetap menunjukkan bahwa kecerdasan seorang pemimpin bukan hanya dilihat dari kemenangan perang, tetapi juga dari keberanian mengambil keputusan sulit demi mempertahankan kedaulatan bangsanya.
Warisan Spiritual: Prasasti Batutulis sebagai Simbol Abadi
Dua tahun menjelang akhir masa pemerintahannya, tepatnya pada tahun 1533, Prabu Surawisesa memerintahkan pembangunan Prasasti Batutulis di Bogor. Prasasti ini bukan sekadar batu bertulis biasa, melainkan tugu penghormatan kepada sang ayah, Prabu Siliwangi, dan simbol keteguhan hati seorang anak dalam menjaga warisan leluhur.
Di sekitar prasasti ini, terdapat dua batu istimewa:
* Padatala, batu dengan jejak kaki yang dipercaya sebagai bekas pijakan Prabu Siliwangi, melambangkan arah spiritual dan nilai-nilai kehidupan yang ditapaki.
* Astatala, batu dengan jejak tangan, sebagai simbol kekuasaan, perlindungan, dan ikatan antara pemimpin dan rakyatnya.
Simbolisme ini menunjukkan bahwa Surawisesa bukan hanya seorang raja petarung, tetapi juga seorang penjaga tradisi spiritual dan budaya Sunda. Ia memahami bahwa kekuasaan bukan hanya tentang mengatur, tetapi juga tentang menghormati dan melanjutkan nilai-nilai warisan leluhur.