Mohon tunggu...
Andriyanto
Andriyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Jika kamu tak menemukan buku yang kamu cari di rak, maka tulislah sendiri.

- Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh - Rasa bahagia dan tak bahagia bukan berasal dari apa yang kamu miliki, bukan pula berasal dari siapa dirimu, atau apa yang kamu kerjakan. Bahagia dan tak bahagia berasal dari pikiran kamu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tengu: Mahluk Legendaris Agama Shinto dari Jepang

14 November 2023   07:00 Diperbarui: 14 November 2023   07:14 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Japanese Tengu Figure (Illustration) - World History Encyclopedia 

Apakah Anda pernah mendengar tentang tengu? Tengu dianggap sebagai jenis yōkai (makhluk supranatural) atau Shinto kami (dewa atau roh). Tengu biasanya digambarkan memiliki wajah merah, hidung panjang, sayap, dan kuku yang tajam. Mereka sering berpakaian seperti yamabushi, para pertapa gunung yang mempraktikkan Shugendō. Tengu dikenal sebagai pengganggu para biksu Buddha dan pembawa perang. Namun, mereka juga bisa menjadi pelindung, jika masih berbahaya, bagi pegunungan dan hutan. Tengu dikaitkan dengan praktik asketik Shugendō, dan biasanya digambarkan dengan pakaian pengikutnya, yamabushi.

Kali ini, kita akan membahas tentang tengu, asal-usul, jenis, keistimewaan, dan perannya dalam budaya Jepang. Kita juga akan melihat beberapa contoh tengu yang terkenal dalam cerita rakyat, sastra, seni, dan media populer. Mari kita mulai!

Asal-Usul Tengu

Tengu berasal dari nama sejenis iblis dari cerita rakyat Tiongkok yang disebut tiāngǒu. Nama dan karakter yang digunakan untuk menulisnya dipinjam dari nama iblis yang ganas dari cerita rakyat Tiongkok yang disebut tiāngǒu meskipun ini masih harus dikonfirmasi. Tiāngǒu berarti "anjing langit" dan digambarkan sebagai seekor anjing hitam raksasa yang bisa menelan matahari atau bulan. Tiāngǒu juga dikaitkan dengan bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir.

Tengu pertama kali muncul dalam literatur Jepang pada abad ke-10, dalam kumpulan cerita rakyat Konjaku Monogatarishū. Dalam cerita ini, tengu digambarkan sebagai burung gagak raksasa yang bisa berbicara bahasa manusia dan mengganggu para biksu Buddha. Tengu juga disebut sebagai karasu-tengu (tengu gagak) atau konoha-tengu (tengu daun). Tengu ini dianggap sebagai makhluk jahat yang menyebarkan penyakit, menculik anak-anak, dan menyebabkan kekacauan.

Namun, seiring berjalannya waktu, tengu mulai berubah bentuk dan sifat. Pada abad ke-12, tengu mulai digambarkan sebagai manusia dengan hidung panjang dan sayap. Tengu ini disebut sebagai hanadaka-tengu (tengu hidung tinggi) atau yamabushi-tengu (tengu yamabushi). Tengu ini dianggap sebagai makhluk yang lebih bijaksana dan berkuasa, yang bisa mengajarkan ilmu pedang, ilmu pengetahuan, dan agama kepada manusia yang layak. Tengu ini juga mulai dihormati sebagai pelindung bagi gunung dan hutan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah pengaruh dari Buddhisme, terutama aliran Vajrayana atau Tantrik. Dalam aliran Vajrayana, banyak sekali dewa dan roh yang bisa menjadi guru atau musuh bagi para pengikutnya. Salah satu dewa utama dalam Buddhisme Vajrayana adalah Fudō Myōō, seorang Buddha tantrik yang dikenal sebagai "Tidak Dapat Digoyahkan". Sosok Fudō Myōō digambarkan berwajah merah, berambut api, membawa pedang dan tali. Dia juga adalah pelindung bagi para biksu dan penghalau para iblis. Fudō Myōō juga dikaitkan dengan api, yang melambangkan kebijaksanaan dan penyucian.

Banyak tengu yang dianggap sebagai manifestasi atau pelayan dari Fudō Myōō. Tengu mirip dengan Fudō Myōō , sering mengenakan pakaian seperti topi, jubah, pedang, dan kipas. Tengu juga sering berada di dekat api, baik sebagai sumber penerangan maupun sebagai sarana meditasi. Tengu juga mulai menghormati para biksu Buddha yang tulus dan taat, dan menghukum para biksu Buddha yang sombong dan korup.

Faktor lain yang mempengaruhi perubahan ini adalah pengaruh dari Shugendō, sebuah agama yang menggabungkan berbagai unsur dari agama-agama lokal, pemujaan gunung Shinto, dan Buddhisme. Aliran kepercayaan ini dipraktikkan oleh para Shugenja atau disebut juga Yamabushi, yaitu umat yang bertapa di gunung dan melakukan praktik spiritual melalui disiplin. Shugendō didirikan oleh En no Gyōja, seorang pertapa dan mistikus yang hidup pada abad ketujuh. Shugendō berkembang lebih lanjut dengan memasukkan unsur-unsur dari aliran Buddhisme Vajrayana seperti Shingon dan Tendai.

Shugendō memiliki pandangan kosmologis yang luas dan mencakup banyak dewa dan roh dari Buddhisme dan Shinto. Salah satu dewa utama dalam Shugendō adalah Zaō Gongen, yang dianggap sebagai manifestasi Buddha sebagai kami (dewa atau roh) Jepang. Zaō Gongen digambarkan sebagai sosok yang berwajah merah, berambut api, dan membawa pedang dan kipas. Zaō Gongen adalah pelindung bagi para Shugenja dan pengusir bagi para iblis. Zaō Gongen juga dikaitkan dengan gunung, yang melambangkan kekuatan dan kesucian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun