Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Meributkan Selera Musik adalah Hal yang Tidak Penting

21 Januari 2020   00:46 Diperbarui: 22 Januari 2020   04:54 2410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menikmati lagu. (sumber: shutterstock)

Pernah berantem dengan teman gara-gara saling hujat selera musik? Pasti dalam kehidupan kalian pernah satu, dua kali beradu saling merendahkan selera masing-masing. 

Mungkin juga hanya sindir menyindir lewat kata yang tidak mengenakan, baik dari media sosial maupun mengumpat langsung di depan mukanya.

Saya sendiri pernah berseteru dengan kawan saya. Saya yang orangnya nerimo lebih banyak diam saat ia menghujat musik yang saya sukai. Beberapa kali ia dengan koloninya sengaja merundung  dengan candaan yang kurang mengenakan sebetulnya. 

Ia terus merendahkan jika saya sedang memutar/memainkan jenis musik yang saya sukai. Kata-kata yang terlempar seperti: musik rengekan, musik cengeng, musik aneh, musik rajelas, musik dhestadhegdheg, jazz kagol, dan sebagainya.

Saking seringnya, saya menjadi kebal. Tak peduli lagi dengan perkataan mereka yang kurang mengenakan. Saya tetap teguh untuk memainkan apa saja yang saya sukai, dan mendengarkan apa saja yang saya inginkan. 

Namun jika teringat, terkadang membawa rasa ngilu sendiri di hati. Kenapa sebenarnya dengan musik yang saya sukai sehingga mereka mengolok-olok dengan kejamnya? Apa yang salah dari musik itu? Apa mereka hanya paitan sengit (benci buta) dengan saya saja?

"Meributkan soal selera musik adalah hal yang paling tidak penting. Membicarakan dan berbagi informasi yang konkrit tentang selera musik yang berbeda itu baru penting."

Melihat polemik ini, sebenarnya banyak faktor soal mengapa mereka suka menghujat selera musik orang lain yang tak sama dengannya. Saya yakin niat mereka tidak akan menyampaikan kritik yang membangun, apalagi kritik yang konkrit. 

Itu berbeda, hujatan mereka tak diimbangi dengan argumen yang ilmiah, bahkan argumennya tak rasional.

Saya kurang paham, apakah mereka punya gairah fanatisme di satu gaya musik yang mereka sukai, sehingga semuanya terkesan buruk? Ataukah mereka memang tak bisa menemukan media lain untuk menghujat saya selain dengan selera musik yang saya sukai?

Di Indonesia, perdebatan soal selera musik memang sudah dari dulu. Saya akan ingatkan perdebatan soal "musik tai anjing" yang mana disematkan pada musik Dangdut dan "musik terompet setan" yang mana disematkan pada musik Rock. Mereka adalah Soneta dan Giant Step, yang memang 2 grup tersebut sama-sama superiornya di era 70an.

Lalu pelarangan selera musik pada era Bung Karno, dimana musik-musik yang mengarah seperti Beatles dicekal, piringan hitamnya disita, dibakar, pokoknya yang terdengar "ngak-ngik-ngok" diganyang. Ini semua sebenarnya hanya strategi politis dalam percobaannya membangun Indonesia paska kemerdekaan, namun pegiat musik mau tak mau menjadi korban. Yang memainkan dipenjara, yang mendengarkan disuruh bubar.

Sementara di mancanegara, budaya kritik musik populer lebih jelas arah dan maksudnya. Bisa dikatakan kritik ini mengakar pada 2 jenis, yaitu rockism dan poptimism. 

Lester Bang adalah salah satu represanti dari rockism, dimana musik rock adalah yang paling patut diapresiasi. Sementara Carl Wilson adalah salah satu representasi dari poptimism, dimana yang kacangan bukan musik popnya, namun meredupnya daya interpretasi kepada musik yang bukan rock.

Contoh di atas adalah yang patut ditiru. Mereka mengkritik dengan rasional dan ilmiah, sampai membuat ulasan menjadi buku, ulasan di media, atau langsung ditujukan kepada musisi sasarannya. 

Mereka mau dengan jantan  merangkai kritik yang membangun dan berimbang. Tidak hanya karena benci yang buta, mengedepankan fanatis yang menginjak semua kerasionalan berpikir kita.

Sebaliknya, budaya kritik di Indonesia masih kacau hingga sekarang. Terkadang, kritik mereka blunder. Alih-alih ingin membangun malah jadinya menjatuhkan. Ingin dikenal hebat dengan menjatuhkan orang lain adalah hal yang memalukan menurut saya. 

Pengkritik kebanyakan asal bunyi, tidak riset, jenis netizen buzzer, snobis musik yang fanatis, dan kecerobohan-kecerobohan yang fatal lainnya.

Kalau menurut Pierre Bourdieu sebenarnya kritikus musik populer cukup menjadi pencipta selera, yang disambung oleh Lester Bangs yaitu: menularkan selera musik kritikus kepada orang banyak. 

Namun hujatan dan makian kini sangat gampang terlontar tanpa tedeng aling-aling. Parahnya mereka hanya meributkan selera musik yang berbeda, bukan soal mutu kualitas dari musik itu sendiri.

Mereka hanya bermodal ketidaksukaan, ketidaksimpatian, kebencian, yang dapat membakar apa saja yang mereka tuju. Parahnya lagi mereka sering menghujat persoalan yang bukan urusan dari musiknya. 

Seperti agama, mantan pacar, status lajang, ras dan suku, tattoo, tindik, sudah ngga perawan, dan lainnya. Itu sangat memprihatinkan dan buruk untuk kelanjutan negeri ini.

Selera adalah persoalan subjektif. Ia akan menjadi universal jika tahap persepsi dan afeksi pada seseorang sudah sepakat secara alamiah dalam kepekaan imajinasi, kejelian nalar, latihan, kemampuan perbandingan, dan bebas dari prasangka. 

Selera juga tergantung pada pengalaman setiap orang, dan juga selera mampu membangun karakter seseorang yang jelas akan tetap berbeda di masing-masing individunya.

Untuk kejadian yang saya alami diatas, perundungan atas selera musik saya adalah dampak dari selera yang menjelma sebagai medan sosial. Selera bisa mengelompokkan individu-individu dan memberikan mereka identitas yang sama. 

Oleh karena itu, selera dapat menentukan siapa yang menjadi bagian kelompok tertentu dan siapa yang tidak. Jika masih ada perundungan semacam ini, apakah Indonesia sendiri yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika masih dipertanyakan daya keragamannya?

Meributkan soal selera musik adalah hal yang paling tidak penting. Membicarakan dan berbagi informasi yang konkrit tentang selera musik yang berbeda itu baru penting. 

Terkadang kita membenci karena kita tak tahu dimana letak keistimewaan musik tersebut. Terkadang kita gatal untuk menghujat karena tak ada yang bisa dibanggakan oleh diri kita, sehingga tega untuk merendahkan orang lain.

Saya yakin, musik ada bukan untuk memecah-belah, namun ia ada untuk mempersatukan.

-Andri Asmara-
*) Beberapa kalimat dikutip dari buku Jurnalisme Musik dan Selingkar Wilayahnya karya Idhar Resmadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun