Mohon tunggu...
Andri Asmara
Andri Asmara Mohon Tunggu... Musisi - Penulis

Musik adalah serpihan bebunyian surga yang jatuh ke dunia.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Mengenang Perjuangan Pahlawan Musik

17 Agustus 2019   12:40 Diperbarui: 17 Agustus 2019   13:16 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi note musik. Sumber: unsplash.com/ Marius Masalar @marius

17 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah, hari yang mendebarkan, juga hari penting bagi sebuah bangsa bernama Indonesia. Dengan bangga Indonesia menyatakan kemerdekaannya kepada dunia melalui proklamatornya, Soekarno-Hatta.

Cita-cita kemerdekaan ini sebenarnya telah diimpikan jauh sebelum negara ini terbentuk. Dengan semangat persatuan, tokoh -- tokoh intelek kita secara kolektif berusaha mewujudkan mimpinya untuk bisa menghapus penjajahan.

Kemerdekaan ini tidak dicapai begitu saja. Perlu perjuangan yang maha sulit untuk bisa menggapainya. Segala cara dicoba, dari segi politis hingga angkat senjata menjadi aksi nyata pengusiran penjajah. Bangsa ini sudah teramat lelah untuk dijajah, dan teramat geram untuk dibungkam.

Perjuangan pencapaian kemerdekaan dilakukan oleh seluruh elemen rakyat, tak terkecuali para cendekiawan musik. Mereka sedari dulu telah berjuang lewat karyanya agar kemerdekaan segera terwujud. Ada yang berhasil, ada pula yang terciduk. Ada yang lantang bersuara, ada pula yang menggunakan siasat.

Dilansir dari acara Sesi Dengar; Indonesia Raya tanggal 9 Agustus 2019 dengan pembicara Puput Pramuditya yang bertempat di Lifepatch Yogyakarta membeberkan fakta-fakta menarik tentang pencipta lagu Indonesia Raya. Dialah Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu kebangsaan yang sampai beliau meninggal tidak tahu lagunya digunakan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Wage turut menjadi peramu cita-cita kemerdekaan Indonesia. Awalnya ia hanya musisi pub di rentang tahun 1920an, bermain dengan musisi kulit putih untuk menghibur tamu dengan memainkan musik jazz. Hingga akhirnya ia berguru kepada Sosrokartono, kakak dari Kartini tentang ilmu spiritualisme dan berbagai ilmu lainnya. Ia sempat menjadi jurnalis dan melahirkan beberapa karya roman.

Wage berhasil terpantik semangat juangnya. Setelah dibacanya suatu kritik di koran harian pada masa itu, yang berisi sindiran tentang tidak adanya tokoh musik yang berani membuat lagu bertema kebangsaan. Maka ia tergugah untuk membuatnya.

Indonesia Raya tercipta mula -- mula dengan judul "Indonesia." Sukat yang digunakan juga masih dengan 6/8, (sekarang 4/4) dimana pengaruh ragtime dalam iramanya masih terasa. Dengan tempo sedang, Wage membuat Indonesia Raya didalam tangga nada C (sekarang di G ).

Wage sudah membuat lirik Indonesia Raya dengan struktur 3 stanza. Tentang bagaimana tujuan ia menciptakan 3 stanza tentunya tidak jauh dari pengaruh spiritualisme yang ia sudah timba dari gurunya.

Bisa dilihat dari makna lirik per stanzanya berisi tentang sanjungan, doa, dan pengharapan (3 stanza) untuk kemerdekaan suatu negara yang masih imajiner.

Makna yang terstruktur di 3 stanza tersebut benar-benar ditiupkan kedalam lagunya menjadi suatu karya yang bernyawa. Masih dengan gaya bahasa tempo dulu (bisa disebut melayu lama) yang hingga akhirnya sedikit diubah oleh PLK (Panitia Lagu Kebangsaan) saat akan di re-aransemen Josh Cleber tahun 1950 dengan panduan Bung Karno.

Lagu Indonesia Raya berhasil dikumandangkan pada Kongres Pemuda II pada tahun 1928 dan mendapat apresiasi yang sangat tinggi setelah naskahnya disebar oleh koran Sin Po. Keadaan ini membuat Pemerintah Hindia Belanda menjadi semakin was-was terhadap Wage.

Akhirnya Wage diawasi penuh gerak-gerik selama hidupnya. Pemerintah Hindia Belanda takut Wage mampu mengobarkan semangat kemerdekaan bagi rakyat. Keadaan ini membuat hidup Wage penuh dengan terror hingga ia jatuh sakit dan meninggal pada 17 agustus 1938, jauh sebelum negara ini merdeka.

Contoh lain dilakukan oleh Koesbini ketika Jepang sudah menginjak bumi pertiwi. Menyandang gelar "Buaya Keroncong" yang mana merupakan pujian akan virtuosnya di dunia keroncong itu berhasil membuat siasat yang cerdik.

Saat itu tahun 1942 melalui radio Hoso Kanri Kyoku milik Jepang ia menyiarkan lagu ciptaanya yang dinyanyikan oleh Saridjah Niung (Ibu Soed) berjudul Bagimu Negeri dan mendapat apresiasi pendengar yang sangat tinggi.

Pemerintah Jepang geram dan meminta Koesbini untuk menghadap guna menjelaskan lagunya yang berbau nasionalisme itu karena ada kata "negeri". Disangkalnya dengan enteng bahwa didalam lagu tersebut tidak ada kata "Indonesia", ia juga menyangsikan letak nasionalisme yang dimaksud.

Singkat cerita pemerintah Jepang pun menerima alasan tersebut, karena lirik "negeri" bisa ditujukan untuk Jepang sendiri. Namun sebenarnya Koesbini dan Bung Karno sudah berembug terlebih dahulu soal makna yang tertanam di lagu Bagimu Negeri. "Negeri" yang dimaksud sebenarnya Neg'Ri, akronim dari Negara Republik Indonesia.

Dua contoh diatas adalah sedikit dari ribuan sejarah lain yang bisa dijadikan teladan bahwa tokoh musik di zaman penjajahan ikut berpartisipasi memperjuangkan kemerdekaan. 

Mereka  berjuang dengan karyanya, menyuarakan cita-cita kebangsaan dengan lagunya. Tidak hanya sekedar membayangkan, mereka ikut terjun dalam aksi-aksi nyata di setiap perkumpulan pemuda yang bervisi memerdekakan Indonesia.

Musik di tangan mereka menjadi dua mata pisau yang berlawanan, meneror dan menggugah.  Musik menjelma menjadi senjata terror bagi penjajah, dimana timbul kecemasan setelah penjajah melihat efek nyata dari pergerakan rakyat yang di bakar oleh makna musik tersebut. 

Musik menyentuh kalbu rakyat yang paling dalam, menembus ketakutan sifat terjajah yang menghalanginya. Rakyat menjadi punya dongkrakan keberanian, bahkan yang tadinya tak terpikir untuk merdeka menjadi terlintas dipikirannya.

Memang seharusnya kita mengetahui sejarah perjuangan mereka para pahlawan musik yang tidak hanya memikirkan perut sendiri melainkan memperhatikan nasib orang banyak. 

Berkarya di bawah tekanan dan belenggu penjajahan adalah hal yang pelik. Namun mereka tidak kehilangan semangat juang, mereka mencoba untuk tetap menjejalkan benih-benih kemerdekaan terhadap rakyat Indonesia. Tanpa kenekatan dan itikad baik mereka, mungkin kemerdekaan negara ini hanya bisa diraih di dalam mimpi.

Andri Asmara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun