Lagu Indonesia Raya berhasil dikumandangkan pada Kongres Pemuda II pada tahun 1928 dan mendapat apresiasi yang sangat tinggi setelah naskahnya disebar oleh koran Sin Po. Keadaan ini membuat Pemerintah Hindia Belanda menjadi semakin was-was terhadap Wage.
Akhirnya Wage diawasi penuh gerak-gerik selama hidupnya. Pemerintah Hindia Belanda takut Wage mampu mengobarkan semangat kemerdekaan bagi rakyat. Keadaan ini membuat hidup Wage penuh dengan terror hingga ia jatuh sakit dan meninggal pada 17 agustus 1938, jauh sebelum negara ini merdeka.
Contoh lain dilakukan oleh Koesbini ketika Jepang sudah menginjak bumi pertiwi. Menyandang gelar "Buaya Keroncong" yang mana merupakan pujian akan virtuosnya di dunia keroncong itu berhasil membuat siasat yang cerdik.
Saat itu tahun 1942 melalui radio Hoso Kanri Kyoku milik Jepang ia menyiarkan lagu ciptaanya yang dinyanyikan oleh Saridjah Niung (Ibu Soed) berjudul Bagimu Negeri dan mendapat apresiasi pendengar yang sangat tinggi.
Pemerintah Jepang geram dan meminta Koesbini untuk menghadap guna menjelaskan lagunya yang berbau nasionalisme itu karena ada kata "negeri". Disangkalnya dengan enteng bahwa didalam lagu tersebut tidak ada kata "Indonesia", ia juga menyangsikan letak nasionalisme yang dimaksud.
Singkat cerita pemerintah Jepang pun menerima alasan tersebut, karena lirik "negeri" bisa ditujukan untuk Jepang sendiri. Namun sebenarnya Koesbini dan Bung Karno sudah berembug terlebih dahulu soal makna yang tertanam di lagu Bagimu Negeri. "Negeri" yang dimaksud sebenarnya Neg'Ri, akronim dari Negara Republik Indonesia.
Dua contoh diatas adalah sedikit dari ribuan sejarah lain yang bisa dijadikan teladan bahwa tokoh musik di zaman penjajahan ikut berpartisipasi memperjuangkan kemerdekaan.Â
Mereka  berjuang dengan karyanya, menyuarakan cita-cita kebangsaan dengan lagunya. Tidak hanya sekedar membayangkan, mereka ikut terjun dalam aksi-aksi nyata di setiap perkumpulan pemuda yang bervisi memerdekakan Indonesia.
Musik di tangan mereka menjadi dua mata pisau yang berlawanan, meneror dan menggugah. Â Musik menjelma menjadi senjata terror bagi penjajah, dimana timbul kecemasan setelah penjajah melihat efek nyata dari pergerakan rakyat yang di bakar oleh makna musik tersebut.Â
Musik menyentuh kalbu rakyat yang paling dalam, menembus ketakutan sifat terjajah yang menghalanginya. Rakyat menjadi punya dongkrakan keberanian, bahkan yang tadinya tak terpikir untuk merdeka menjadi terlintas dipikirannya.
Memang seharusnya kita mengetahui sejarah perjuangan mereka para pahlawan musik yang tidak hanya memikirkan perut sendiri melainkan memperhatikan nasib orang banyak.Â