Pembangunan infrastruktur di Indonesia sering kali dijadikan simbol kemajuan. Tapi di balik kemegahan jalan tol dan bandara, masih ada pertanyaan fundamental: apakah infrastruktur telah menjawab ketimpangan ekonomi antarwilayah? Apakah pembangunan benar-benar inklusif? Inilah persoalan inti yang dibahas dalam ekonomi pembangunan.
Secara teoritis, teori pertumbuhan dualistik yang dikemukakan Boeke dan selanjutnya dikembangkan oleh W. Arthur Lewis, menjelaskan bahwa negara berkembang seperti Indonesia sering menghadapi dua sektor ekonomi yang timpang: sektor modern (biasanya di kota besar) dan sektor tradisional (di daerah pinggiran). Infrastruktur menjadi jembatan yang mempertemukan keduanya, dengan menciptakan akses dan konektivitas antarsektor dan antarwilayah.
Namun, teori ini juga mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan akses justru memperlebar jurang sosial. Inilah mengapa penting untuk tidak hanya membangun infrastruktur di pusat pertumbuhan ekonomi seperti Pulau Jawa, tetapi juga memastikan wilayah timur Indonesia mendapatkan akses yang setara.
Dalam pendekatan teori ketergantungan (Dependency Theory), pembangunan di negara berkembang sering terjebak dalam pola eksploitasi pusat-periferi, di mana wilayah tertentu menjadi pusat aktivitas ekonomi, sementara wilayah lain hanya menjadi penyuplai sumber daya. Infrastruktur yang terpusat di wilayah tertentu tanpa perencanaan redistributif justru bisa memperkuat struktur ketimpangan ini.
Untuk itu, pembangunan infrastruktur harus mengikuti prinsip dalam teori pembangunan berorientasi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Artinya, proyek pembangunan harus menjawab kebutuhan dasar rakyat: akses pendidikan, air bersih, kesehatan, transportasi, dan internet. Jalan tol tidak akan berdampak signifikan bagi petani di desa jika tidak terhubung dengan jalan produksi yang memadai.
Contoh keberhasilan pembangunan berbasis teori ini bisa dilihat dalam program Tol Laut, yang mencoba menurunkan disparitas harga antarwilayah, dan program Desa Digital, yang bertujuan menjembatani kesenjangan ekonomi digital. Namun, keberhasilan ini masih parsial dan perlu penguatan dari sisi pelibatan masyarakat serta pemerataan sumber daya fiskal.
Infrastruktur tidak boleh dipandang sebagai proyek ekonomi jangka pendek, melainkan sebagai instrumen strategis dalam kerangka ekonomi pembangunan. Ia harus mengacu pada keadilan distributif, kebutuhan dasar masyarakat, dan pengurangan ketimpangan struktural antarwilayah. Tanpa visi jangka panjang berbasis teori pembangunan, infrastruktur hanya akan menjadi monumen beton---bukan solusi sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI