Mohon tunggu...
Andrian Habibi
Andrian Habibi Mohon Tunggu... Konsultan - Kemerdekaan Pikiran

Menulis apapun yang aku pikirkan. Dari keresahan atau muncul untuk mengomentari sesuatu. Cek semua akun dengan keynote "Andrian Habibi".

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Saling Silang Aturan Pencalonan Eks Koruptor, Harusnya Bagaimana?

4 September 2018   23:15 Diperbarui: 5 September 2018   12:00 1775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: kompas.com/Andrea Lukas Altobelu

Permasalahan calon legislatif mantan narapidana korupsi, memasuki babak baru. Beberapa Bawaslu Daerah memberikan hak politik pada para calon legislatif mantan narapidana korupsi. 

Bawaslu menjadi tertuduh dalam lingkup melebihi kewenangan. Tindakan Bawaslu dianggap sesat hukum. Karena pembatalan norma Peraturan KPU hanya bisa melalui pengujian peraturan terhadap Undang-Undang di Mahkamah Agung.

Akibat Putusan Bawaslu Daerah. Beberapa pihak mengarahkan opini piblik. Seakan-akan Bawaslu pro koruptor. Sama hal nya kalau kita kritik KPK. Maka label pro koruptor akan muncul. Siapa yang benar? Kelompok mana yang salah? Semua main tuding. Mengaku benar. Tunjuk hidung dan klaim.

Subtansi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 adalah baik. Namun, sesuatu yang baik, belum tentu benar. Jika itu baik dan benar, pasti keberpihakan dukungan akan terjadi.

Akan tetapi, pencabutan hak politik memiliki jalur yang diatur tersendiri. Jalur yang kita pahami bersama adalah pembatasan yang menjamin pemenuhan asasi, yaitu pembatasan hak politik melalui Undang-Undang dan/atau Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.

Sekarang, terjadi klaim kebenaran yang mengusik persatuan. Tuduhan tidak memiliki niatan menyelenggarakan pemilu bersih bermunculan. Padahal, semua orang memahami bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.

Namun, suatu kejahatan tidak bisa dilawan dengan arogansi dan tindakan yang asal. Apalagi, jika kita memahami bahwa penyeleksi dalam pemilu adalah pemilih.

Untuk saat ini, Kita berharap ada putusan Mahkamah Agung soal Judicial Review PKPU 20/2018. Kalau tidak, pembelahan Penyelenggara Pemilu akan terjadi sekaligus pembelahan masyarakat sipil.

Kita bisa melihat bagaimana opini publik sudah diarahkan. KPU berlawanan dengan Bawaslu. Padahal kedua lembaga penyelenggara sama-sama diserang.

Bawaslu diserang melalui teknis administrasi putusan dan normatif UU. KPU diserang melalui Sistem Informasi dan PKPU yang melawan Putusan MK.

Masyarakat sipil mulai memilih dan memilah. Akademisi pun mulai beradu argumen antara subtansi, norma dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan.

Padahal yang benar-benar salah adalah si caleg. Kenapa dia melakukan tindak pidana korupsi? Kenapa dia masih mau mendaftar sebagal caleg? Kenapa juga parpol mendaftarkan mantan narapidana korupsi?

Inilah yang salah. Mayoritas pengamat dan pengkaji akan bersepakat. Bahwa kesalahan muncul dari peserta bukan penyelenggara pemilu.

Hak Politik

Kita sepakat soal subtansi melawan korupsi. Begitu juga soal menyediakan hak pemilih untuk mendapatkan pilihan caleg yang berintegritas. Akan tetapi, bukan hak kita menghilangkan hak asasi (politik). Kita bukan Tuhan dan bukan perwakilan Tuhan sesuai kesepakatan bersama yang memiliki hak untuk membatasi dan/atau mencabut hak seorang manusia pun.

Hak Asasi bisa saja hilang saat Pemberi Hak mencabutnya. Atau wakil Pemberi Hak (hakim) menyatakan untuk mencabut hak.

Itupun masih harus melalui pendalaman kesadaran yang mencapai palung jiwa kemanusiaan. Bahkan, hukuman mati pun masih debatable. Perbedaan pendapat muncul ketika bandar narkoba dieksekusi.

Nah, jika yang menerima putusan mati saja mendapat pembelaan. Apalagi niatan pencautan hak politik. Masih ada jalan lain, selain memaksa mencabut hak asasi orang lain.

Beberapa waktu yang lalu, penulis mengusulkan pembatasan hak politik bukan pencabutan hak politik. Misalnya: setiap mantan narapidana korupsi, tidak bisa mencaleg pascakeluar penjara untuk satu periode hasil pemilu. Dia harus melakukan pengabdian sosial sebagai kader partai di dapilnya selama lima tahun.

Setelah itu, parpol memuat mekanisme internal untuk pemilihan internal. Tujuannya, menimbang apakah sang mantan koruptor sudah benar-benar mengabdi di dapilnya. Sehingga pada pemilu selanjutnya, baru bisa didaftarkan.

Pada posisi ini, partai akan untung karena mendapat petugas partai yang menjalankan program pengabdian masyarakat selama lima tahun.

Di sisi lain, ini adalah hukuman sosial untuk membuktikan dia bisa berbaur dalam kehidupan sosial bersama masyarakat. Ini lebih soft dan berpotensi menguatkan kelembagaan partai dan melihat peran masyarakat dalam menilai mantan koruptor selama lima tahun.

Salah satu elemen masyarakat yang ikut menilai program pengabdian masyarakat itu adalah pemantau pemilu. Sehingga, penilaian akan keinsyafan lebih objektif.

Inilah yang disebut pembatasan, yang tetap memberikan hak politiknya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku khusus.

Dalil ini ada rujukannya. Menimbang syarat mantan anggota/pengurus parpol yang ingin menjadi penyelenggara pemilu. Kan butuh waktu rehat selama lima tahu. Ini disebut pembatasan hak yang sama dalam partisipasi di pemerintahan. Tapi orang bisa memahaminya. Jadi setelah lima tahun, mantan anggota partai dianggap telah memiliki jarak yang cukup dengan partainya untuk bisa mendaftar sebagai penyelenggara pemilu.

Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Cara Lain

Seandainya MA memberikan hak politik mantan koruptor dengan mengabulkan Judicial Review atas PKPU 20/2018, putusan tersebut semoga memberikan ruang untuk menyatukan gerakan anti korupsi.

Dengan cara mengizinkan penyelenggara dan pemantau pemilu yang terakreditasi menyebarluaskan informasi lengkap caleg koruptor, diharapkan pemilih lebih awas sebelum memberikan hak pilihnya.

Sedangkan solusi jangka panjang adalah revisi undang-undang. Adapun yang direvisi adalah UU Pemilu dan UU Partai Politik. Kedua UU ini harus diperbaiki sebelum pemilu 2024. Ketentuan rekrutmen calon presiden, wakil presiden, kepala daerah dan calon legislatif harus lebih baik. Sehingga, tidak memberatkan bagi penyelenggara pemilu dalam menerbitkan Perbawaslu dan PKPU.

Ingatlah, sejahat-jahatnya manusia, hanya Tuhan yang berhak mencabut hak untuk hidup manusia itu. Begitu pula, meskipun korupsi merupakan extra ordinary crime, hanya UU dan Palu Hakim yang bisa mencabut hak politiknya.

Jangan menjadi Tuhan, beristigfarlah.

***

Oleh Andrian Habibi
Divisi Kajian KIPP Indonesia

dokpri
dokpri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun