Mohon tunggu...
Andrey Andoko
Andrey Andoko Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Multimedia Nusantara

Lulus S1 dari jurusan Fisika ITB dan S2 Computer Science Queensland University of Technology, Brisbane, Australia. Selama 15 tahun berkarier di industri media, mulai dari media cetak, online dan radio. Kini di Universitas Multimedia Nusantara.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bisnis Foto Studio, Akankah Bisa Bertahan?

8 Juli 2017   23:09 Diperbarui: 9 Juli 2017   12:10 3581
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini, kampus kami menyelenggarakan wisuda untuk kesekian kalinya. Seperti biasa, dalam setiap momen wisuda selalu ada studio foto yang terkenal yang hadir di lokasi wisuda. Mereka menggelar beberapa foto booth, lengkap dengan gulungan layar yang berisi beberapa lukisan yang bisa dipilih sebagai latar belakang, yang sudah sekian tahun tidak pernah diganti. Sebagaimana lazimnya sebuah kampus, maka salah satu latar belakang yang populer adalah lemari dengan deretan buku yang tebal-tebal (mungkin maksudnya ensiklopedia, yang dulu harganya puluhan juta dan sekarang sudah tidak terbit lagi dilindas oleh teknologi digital serta para wisudawan mungkin sudah tidak pernah menyentuhnya). Tentu saja studio foto berharap, para wisudawan bersama dengan keluarganya akan minta jasa foto (yang tidak terlalu murah) dan nanti hasilnya (dalam media kanvas ukuran besar) bisa dipajang di ruang tamu dengan rasa bangga karena sudah berhasil lulus kuliah.

Yang kami perhatikan adalah setelah sekian tahun  cara studio foto tersebut melakukan bisnis tidak berubah, business as usual. Orang-orang yang difoto diatur sedemikian rupa, posisi harus seimbang kiri dan kanan, laki-laki - perempuan, tinggi-rendah juga harus seimbang, kepala tidak boleh miring, supaya tampak formal. Butuh waktu sekian menit untuk mengatur sebelum kamera dioperasikan. Bahkan ketika akan menjepret kamera, fotografer masih saja melihat ada yang kurang ini itu, lalu diatur lagi. 

Ketika semuanya terlihat sudah rapi, sang fotografer berteriak agar orang-orang yang difoto jangan goyang dulu dengan hitung mundur, supaya hasil fotonya bagus. Dan kamera (yang sudah pasti digital) menjepret sekian kali karena khawatir ada jepretan yang hasilnya kurang bagus. Jelas ini menunjukkan generasi digital dimana biaya jepretan foto boleh dibilang tidak ada sehingga berapa kalipun jepretan tidak masalah, nanti tinggal dipilih hasil yang paling bagus. Coba bandingkan dengan ketika masih menggunakan film yang biayanya mahal dan hasilnya tidak bisa langsung dilihat. Jumlah jepretanpun sangat dihemat. Ya, hanya ini yang berubah dengan adanya teknologi digital.

Dengan teknologi digital, apapun bisa dibuat atau direkayasa. Gambar bisa dibuang, ditambahkan atau diganti dengan yang lain. Teknologi ini juga sudah bisa menghasilkan gambar yang hampir tidak bisa lagi dibedakan dengan gambar natural, seperti yang bisa dilihat pada film animasi atau film dengan special effect.

Begitu juga dengan foto, mau dengan latar belakang apapun bsai diwujudkan. Tapi kenapa studio foto tersebut masih perlu membawa-bawa layar dengan gambar yang berbeda-beda (yang pasti jumlahnya terbatas karena berat).  Padahal latar belakang tadi bisa diganti dengan gambar apapun. Mestinya studo foto cukup membawa green screen, lalu menyediakan menu gambar yang variasinya lebih banyak dan bisa dipilih sebagai latar belakang.

Dan sayup-sayup kami mendengar keluhan, yang berminat untuk meminta jasa foto koq tidak banyak. Apakah para wisudawan bersama keluarganya sudah tidak lagi membutuhkan hasil foto formal yang berkualitas, yang nantinya bisa dipajang di rumah?

Perubahan Perilaku

Kalau kita perhatikan pada setiap acara penting, makin jarang orang menenteng kamera, baik poket, apalagi yang DSLR dengan lensa yang bisa diatur zoomnya. Tetapi sebaliknya makin banyak orang mengabadikan momen penting hanya dengan jepretan kamera smartphone, yang kualitasnya makin baik dan sudah hampir menyamai kamera tradisional. Data penjualan kamera menunjukkan buktinya. Total penjualan kamera anjlok dari 121 juta di tahun 2010 menjadi hanya 23 juta di tahun 2016. 

Dibandingkan tahun 2015, jumlah pengiriman kamera di tahun 2016 turun 35 %. Ketika pasar kamera anjlok, penjualan smartphone di tahun 2016 naik 5 % dibandingkan tahun sebelumnya, dengan kualitas kamera yang makin baik. Bahkan diperkirakan, pasar kamera global akan turun menjadi dibawah 20 juta di tahun 2017 dan industry kamera akan memangkas karyawan dan mungkin akan mulai merugi. Apakah ini berarti bahwa smartphone akan membunuh kamera tradisional ? Kemungkinan besar tidak, tetapi pasar kamera akan menyusut menjadi niche. Hanya profesional dan pehobi yang memilikinya.

Dengan smartphone ditangan, kini setiap orang membawa kamera sehingga dengan mudah mengambil foto di setiap momen, tanpa harus diatur posisinya supaya terlihat rapi dan sempurna. Bahkan perilaku swafoto makin banyak dilakukan, apalagi beberapa smartphone menawarkan kualitas kamera depan yang lebih baik, plus tongsis yang mudah dibawa. Perilaku yang difotopun juga berubah. 

Makin bergaya akan makin seru dan memberi kesan. Bahkan goyangan anggota tubuh yang dilarang pada foto formal, menjadi video singkat yang lebih seru, lucu dan mengesankan dengan adanya aplikasi Boomerang. Seperti halnya tagline Boomerang : makes everyday moments fun and unexpected.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun