Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bereskan Hulu Industri Migas: Menutup Arena Main Gila para Mafia Impor

3 Juni 2020   23:45 Diperbarui: 3 Juni 2020   23:51 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Atau ada pilihan kedua. Demi mengamankan sektor hulu, undang saja investor luar negeri, yang mau melakukan investasi besar dan berisiko tinggi seperti itu. Tentu mesti dengan paket penawaran yang bersaing dengan negara-negara lainnya.

Lalu, kalau dapat sumurnya, kita bayar balik investasinya dengan pola bagi hasil. Skema standarnya pun sudah ada, 85% buat Indonesia dan 15% buat investor. Toh kalau tidak dapat sumurnya, itu jadi risiko buat sang investor. Kita tidak rugi apa-apa (we have nothing to loose). Malah Indonesia sudah dapat investasi eksplorasinya.

Skema kontrak karya 30 tahunan juga sudah ada, 10 tahun pertama untuk eksplorasi dan 20 tahun berikutnya untuk produksi (eksploitasi). Setelah itu sumur dikembalikan atau diperpanjang, tergantung kebijakan pemerintah. Ini jelas investasi jangka panjang dan sangat menguntungkan, menimbang risikonya pun ditanggung investor.

Sampai tahun 2015 lalu, WK (Wilayah Kerja) migas masih ada 312, di tahun 2018 tinggal 216 WK. Titik terendah selama dekade ini. Kondisi ini jelas menggambarkan semakin buruknya kinerja pasokan (supply) minyak dari hulu.

Sebagai informasi, untuk sementara ini, kinerja dari 5 KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) penyumbang lifting minyak terbesar di kuartal pertama tahun 2020 tercatat: 1) Mobil Cepu Ltd: 220 ribu bopd, 2) PT Chevron: 182 ribu bopd, 3) Pertamina EP: 81 ribu bopd, 4) Pertamina Hulu Mahakam: 31 ribu bopd, 5) Pertamina Hulu Energi OSES: 29 ribu bopd (barrel oil per day).

Untuk perkembangan investasi, dalam laporan tahunan 2018 Dirjen Migas tercatat hanya 13 kontrak baru yang ditandatangani dalam tiga tahun terakhir. Sampai awal 2019, tender migas yang berhasil terjual hanya di 2 WK, dan semester kedua tahun 2019 ada 4 WK yang ditawarkan lagi. Berbagai upaya masih terus dilakukan oleh pemerintah (Kementerian ESDM dan SKK Migas).

Ada pula yang menyinggung bahwa pelambatan (penurunan) itu mungkin lantaran perubahan sistem kontrak dari model tradisional 'cost-recovery' menuju sistem baru yang disebut dengan metode 'gross-split'. Tapi ini soal yang lain lagi. Malahan menurut beberapa pengamat tidak terlalu jadi persoalan apakah mau model 'cost-recovery' atau metode 'gross-split'. Jadi apa dong persoalannya?

Sementara itu, dalam postur anggaran negara (APBN), kontribusi migas terhadap pemasukan negara tergambar fluktuasi penurunannya sebagai berikut: tahun 2014 sebesar 14%, tahun 2016 cuma 2,8%, tahun 2017 jadi 4,9%, dan tahun 2018 sebesar 7,4%. Tahun 2019 jadi 7,4%, dan tahun 2020 sektor migas ditargetkan untuk menyumbang PNBP sebesar Rp127,3 triliun, atau 5,7% dari target penerimaan APBN 2020 sebesar Rp 2.233,2 trilyun.

Upaya penyederhanaan prosedur investasi sejak Maret 2018 dengan menghapus 18 regulasi dan 23 persyaratan sertifikasi, rekomendasi dan perijinan supaya tidak terjadi duplikasi telah dilakukan. Dan kita masih mengharap ada respon positif dari investor. Mereka yang mau menginvestasikan uang yang begitu besar dengan risiko yang sangat tinggi, ditambah dengan berpayah-payah mengekplorasi mencari sumur-sumur baru (yang belum tentu ketemu dalam sekali usaha).

Disini kita tidak bermaksud untuk masuk ke ranah yang teknis soal industri migas. Hanya dengan melihat big-picture (gambaran besar) dari sisi supply-demand dan kenyataan cadangan minyak yang masih besar, rasanya logis saja jika FDI ekplorasi migas di hulu bisa  segera digenjot realisasinya (secepat mungkin) demi menyelamatkan perekonomian Indonesia semasa dan pasca pandemi Covid-19 ini.

Babak belurnya APBN 2020 yang akhirnya mesti direvisi (setelah direalokasi) dengan perkiraan belanja meningkat dari Rp 2.540.4 triliun jadi Rp 2.738,4 triliun, sedangkan pendapatan negara menurun dari Rp 2.233,2 triliun jadi sekitar Rp 1.699,1 triliun. Ini mesti segera dicarikan alternatif pemasukannya, agar jurang defisit tidak semakin melebar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun