*Apakah Hipokrisi jadi Syarat Masuk ke Politik Praktis?*
Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Apakah syarat untuk masuk ke dalam dunia politik praktis itu harus jadi munafik? Katanya politik praktis itu panggung hipokrisi 'par excellence', dimana aktor dan aktris politik memainkan peran dengan topeng-topeng.
Sehingga pemahaman tentang politik praktis jadi sekedar siapa, dapat apa, memainkan peran apa, kapan, dimana, dan bagaimana skenarionya.
Semoga saja tidak.
Padahal kalau ditilik dari pemahaman asli 'politik' dan 'politik praktis' mestinya tidak perlu dibikin ruwet. Dulu di jaman Tiongkok kuno dan juga Yunani kuno 'politik' masih dipahami sebagai bagian dari filsafat moral atau etika.
Politik dipahami sebagai upaya memikirkan dan sekaligus mengusahakan bagaimana masyarakat diatur sedemikian rupa, "...to ensure not only the happiness and security of the people, but to enable people to live a 'good life'." (The Politics Book, DK London, 2013).
Dan 'politik praktis' seyogianya adalah eksekusi dari pemahaman tersebut. Mestinya ada integrasi antara konsep (teori) dengan praksisnya. Itulah integritas (integrasi antara perkataan dengan perbuatan, walk the talk). Simple.
Namun sekarang kita sering juga mendengar pendapat yang mengatakan bahwa tidak usah terlalu banyak berteori, langsung praktek saja.
 Pendapatnya orang kebanyakan, karena memang kebanyakan orang adalah orang kebanyakan. Lugu dan naif.
Upaya mencopot konsep/teori dengan praksisnya terasa hanya sebagai justifikasi (usaha pembenaran diri) terhadap perilaku politiknya yang menyimpang. Itu saja sih sebenarnya.