Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Bail-out/Nasionalisasi Versi 2.0, Mungkinkah?

27 April 2020   16:59 Diperbarui: 27 April 2020   16:56 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kalangan kabarnya sudah mulai kasak-kusuk untuk minta negara mem-bail-out (ala BLBI-BPPN dulu) demi restrukturisasi utang. Ancaman NPL sudah di depan mata katanya.

Kalau dipikir-pikir memang dalam kondisi stagnasi total seperti ini kepada siapa lagi mesti berpaling. Negaralah satu-satunya harapan. Swasta boleh dibilang hampir (atau bahkan sudah) keok.

Donasi yang sifatnya karitatif memang banyak digalang oleh pengusaha swasta yang masih punya kemampuan.  Itu baik adanya, tapi sama-sama disadari bahwa yang sifatnya karitatif ya sukarela saja selama bersedia. Sampai kapan bersedianya? Ya sampai dana karitatifnya masih dikantong badan, apa lagi coba?

Dulu sempat disangka bahwa korporasi swasta dalam pasar bebaslah yang bakal paling berjaya. Negara hendaknya menepi saja, jangan terlalu banyak campur tangan, biarlah 'the invisible hand of capitalism' yang bekerja dengan sempurna.

Bahkan Bruce Piasecki (bukunya 'World Inc', Sourcebook Inc.,2007) pernah sesumbar, 'When it comes to solutions -- both local and global -- businesses are now more powerful than government. Welcome to World Inc.'

Namun apa lacur, sekarang seluruh dunia sedang berpaling ke pemerintahnya masing-masing. Dan masing-masing pemerintahnya pun dipaksa oleh situasi untuk duduk di depan layar tele-conference mencari solusi bersama bagi umat manusia. Tanpa memandang perbedaan asal-usul suku, agama, ras, dan antar-kepercayaan.

Mungkin thesis Ian Bremmer (bukunya 'The End of The Free Market: Who Wins the War Between States dan Corporations?', Portfolio,2010) yang jadi lebih relevan sekarang.

Dalam kesadaran yang muncul sebagai akibat dari krisis finansial dunia beberapa waktu lalu (ingat kasus Lehman Brothers, dll) dan resesi global yang mengikutinya, telah memaksa para pemimpin negara-negara demokrasi pasar bebas di dunia ini untuk berpikir ulang dengan sikap skeptis terhadap praktek free-market capitalism.

Seperti yang dicatat Ian Bremmer tentang pertanyaan yang diajukan wakil menteri luar negeri RRT, He Yafei, waktu itu, "Now that the free market has failed, what do you think is the proper role for the state in the economy?"

Pertanyaan yang terus menggema, apalagi dalam kondisi seperti sekarang ini.

Memang, BI sebagai bank sentral ditengarai punya kewenangan untuk mem-bail-out dengan dana talangan melalui LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Skemanya sudah ada di Perppu yang telah dikeluarkan pemerintah sehubungan dengan penyebaran Covid-19. Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Perry Warjiyo sudah pula menyampaikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun