Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apakah Ternyata Rakyat Telah Buang-buang Suara?

19 Januari 2020   15:23 Diperbarui: 19 Januari 2020   15:33 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Apakah Ternyata Rakyat Telah Buang-buang Suara?*

Oleh : *Andre Vincent Wenas*

Sudah hampir setengah tahun parlemen Indonesia bekerja (DPR-RI maupun DPRD di berbagai provinsi, kabupaten dan kota). Sudahkah suara yang diberikan untuk para wakil rakyat dalam pileg lalu dikelola dengan efektif? Apakah ternyata cuma buang-buang suara?

Ilustrasi.

Masih ingat film berjudul Avatar? Film terkenal besutan James Cameron yang menelan ongkos produksi 230 juta dollar itu berkisah tentang planet Pandora, sebuah bulan fiksi yang mengorbit planet gas raksasa Polythemis. Pandora adalah bulan ekstraterestrial yang rindang, kehidupan di sana unik, banyak makhluk cantik namun banyak pula yang buas.

Di situ hidup suku Na'vi, suku humanoid primitif namun evolusinya lebih progresif. Posturnya setinggi tiga meter, berekor dan kulitnya biru. Alkisah suku Na'vi hidup damai dalam harmoni keseimbangan alam raya Pandora.

Dalam film fiksi Avatar itu diceritakan, bahwa manusia  yang sedang mengeksploitasi sumber mineral bisa saja bertahan hidup di permukaan planet Pandora tanpa alat pelindung, hanya mereka butuh persediaan oksigen dalam tabung untuk bernapas, tanpa itu mereka mati. Manusia (yang disebut sebagai orang-orang langit) merambah ke Pandora demi mengeksploitasi mineral yang sangat langka, unobtainium.

Dikisahkan bahwa unobtainium punya gaya magnetik kuat dan sangat vital untuk memproduksi komponen kapal angkasa Bumi yang maju. Mineral ini sangat langka di Bumi, sedangkan di planet Pandora jumlahnya melimpah, konon harganya milyaran dollar per kilo! Manusia tentu sangat ngiler begitu tahu ada komoditi milyaran dollar per kilo di Pandora.

Jalan cerita selanjutnya sudah bisa ditebak. Libido manusia Bumi untuk menguasai semua pun memimpin nalar eksploitatifnya. Nafsu di depan akal sehat. Planet Pandora diobrak-abrik, digerus lewat sains-teknologi yang diwujudkan dalam kekuatan-paksa bergaya militeristik. Hasrat libidinal kapitalistik berciri eksploitasi membabi-buta diumbar sekuat-kuatnya.

Episode final dalam film fiksi Avatar ini menggambarkan avatar Jack Sully yang menitis dari kekuatan sains-teknologi (yang dimodali sebuah korporasi di Bumi) lahir ke pentas planet Pandora. Walau pada akhirnya, titisan dari sains-teknologi ini toh "berdamai" juga dengan bunda-alam tatkala sang avatar teknologi ini mengalami reinkarnasi dengan yang alamiah. Perdamaian antara yang ilmiah dengan yang alamiah.

Latar belakang.

Dalam skala internasional, hasrat libidinal kapitalisme global dengan tanpa tedeng aling-aling bisa merangsek jauh ke dalam teritori kaedaulatan politik maupun ekonomi suatu negara yang kaya sumber daya alam. Bisnis minyak dan gas bumi di kawasan Timur Tengah, Iran, Irak, Libya, Venezuela, dll adalah beberapa contoh saja dimana korporasi kapitalis global bisa mengangkangi para elit politik untuk jadi komprador dan ramai-ramai menjarah negerinya sendiri.

Dalam skala nasional, libido kekuasaan sebagai sarana pemupukan kekayaan ekonomi telah mewujud dalam praktek-praktek politik uang dan praktek kapitalisme-semu (ersatz). Brutalnya sistem oligarki di berbagai partai politik yang memperkosa hak politik kadernya sendiri bukan barang baru di negeri ini. Ini semua konspirasi busuk, untuk berjamaah menjarah dana publik, anggaran negara pun bocor.

Dalam skala kedaerahan, panggung kontestasi gubernur, bupati atau walikota nampaknya sudah jadi ajang adu tebal muka. Adu tebal bedak yang bisa menutupi (mengalihkan isu) kebusukan para kontestannya, yang baru maupun petahana.

Ditengarai bahwa rakyat memang sengaja dibiarkan bodoh dan buta politik agar gampang dibius dengan candu cepeceng alias serangan fajar nanti semalam sebelum hari pencoblosan. Beli suara, bayar lunas dan habis perkara. Setelah itu segera pikirkan ROI (return on investment), dan APBD adalah lahan bancakan yang empuk, seperti berburu di kebun binatang.

Ketiga dimensi dalam kancah politik: internasional, nasional dan daerah bukanlah dimensi yang tercerai berai. Ada kelindan satu sama lainnya. Kita tahu juga bahwa kekuasaan politik itu terlaksana lewat suatu persetujuan, semacam kontrak sosial (Thomas Hobbes), kekuasaan bisa juga terwujud dalam pertarungan kekuatan (ala Nicollo Machiavelli), atau juga bisa kekuasaan beroperasi sebagai suatu fungsi dominasi suatu kelompok yang didasarkan pada penguasaan atas ekonomi dan manipulasi ideologi (Karl Marx).

Kita bisa membaca peta politik Indonesia kontemporer dengan ketiga pisau analisa ini. Karena memang ketiganya serentak dan sekaligus berjalan bersama.

Pemilihan umum yang merupakan sarana demokratis ada dalam konteks kontrak sosial. Sementara berbagai siasat dan manuver politik ala Machiavelli semasa pra-pemilu, maupun pasca-pemilu telah terbukti.

Dan itu semua terjadi, dalam kajian marxian berada dalam suatu kondisi dimana sentra-sentra kekuatan ekonomi, finansial dan juga ideologis (agama) menjadi aktor determinan dalam menentukan jalan cerita sandiwara di panggung politik. Ada semacam alienasi disini.

Jadi bagaimana?

Seperti ilustrasi cerita di film Avatar tadi. Rakyat Indonesia ini ibarat tinggal di planet Pandora yang rindang, dengan  kehidupannya yang unik, banyak makhluk cantik namun banyak pula yang buas. Kehidupan awal (the state of nature) bangsa ini seolah digambarkan hidup damai dalam harmoni keseimbangan alam raya Nusantara.

Banyak pihak (internasional sampai lokal) yang merambah ke Pandoranya Nusantara demi mengeksploitasi sumber daya alam yang langka di tempat lain namun melimpah disini. Ini soal keuntungan ekonomi-finansial yang konon harganya milyaran dollar. Kapitalisme global lewat instrumennya yaitu korporasi transnasional tentu sangat ngiler begitu tahu ada komoditi milyaran dollar yang tertimbun disini. Suatu potensi yang harus dieksploitasi habis-habisan, begitu selalu pikirnya.

Jalan cerita selanjutnya sudah bisa ditebak. Libido kapitalis untuk menguasai potensi ekonomi pun memimpin nalar eksploitatifnya. Nafsu di depan akal sehat. Segala area konsesi pun diobrak-abrik, digerus pakai sains-teknologi yang diwujudkan dalam kekuatan-paksa bergaya militeristik. Hasrat libidinal kapitalistik berciri eksploitasi membabi-buta diumbar sekuat-kuatnya.

Cara pertama tentu lewat pendekatan yang halus, cara yang politis. Ikut bermain dalam kancah demokrasi, memakai amunisi utamanya: uang!

Pemilu yang dikotori politik uang. Perebutan kekuasaan dengan cara sogok pakai uang. Pembiusan ideologis yang memanfaatkan dana CSR, donasi dari lembaga internasional maupun yang disalurkan lewat institusi lokal.

Itu semua adalah pola permainan yang umum terjadi di belakang layar. Ada tabir yang menyelubungi praktek menjijikan yang sesungguhnya terjadi. Apakah tabir itu? Tabir itu adalah pemberhalaan figur atau orang, dan pemberhalaan partai atau organisasi.

Propaganda ala fireshose of falsehood dari para agen yang fanatik telah menggiring narasi bangsa melampaui apa yang benar, realitas politik yang sesungguhnya terjadi. Fanatisme buta memang melumpuhkan nalar-kritis.

Kita sangat berharap, pendidikan politik bangsa bisa optimal dilakukan, terutama menjelang pilkada serentak 2020 bulan September nanti. Trias Politika (eksekutif, legislatif, judikatif) ditambah pilar keempat, Pers/Media Massa, bisa menjadi aktor sekaligus institusi yang bisa melakukan peran itu.

Oleh karena pers/media masssa di era digital seperti ini telah mengalami faksionalisasi yang luar biasa, maka citizen-journalism lewat berbagai media-sosial diharapkan bisa berperan mendewasakan kehidupan politik. Jangan malah jadi agen penyebar hoaks.

Khusus untuk pemilihan eksekutif dan legislatif yang kendaraan utamanya adalah partai politik, maka kita sungguh berharap para petinggi Partai Politik tidak melacurkan dirinya, jual beli harga diri.

Partai Politik diharapkan bisa melahirkan kader-kader yang bermutu. Seperti Avatar Jack Sully, tatkala sang avatar teknologi ini mengalami reinkarnasi dengan yang alamiah. Perdamaian antara yang ilmiah dengan yang alamiah. Sintesa yang melahirkan harmoni. Kader yang cerdas, jujur dan bijak. Kader yang bisa membereskan situasi kaotik jadi harmoni yang memicu sinergitas.

Kembali lagi, untuk Indonesia naik kelas, kita sama-sama mengingatkan, jadilah pemilih yang juga cerdas dan bijaksana. Ini kesempatan lima tahun sekali untuk menentukan masa depan daerah maupun bangsa. Modal utama partai politik adalah para pemilihnya, voters, rakyat.

Apakah suara yang diberikan oleh rakyat lewat pemilu kemarin telah dikelola dengan efektif oleh partai? Apakah kadernya di parlemen telah menyuarakan, mengartikulasikan apsirasi rakyat?

Atau pertanyaanya kita kembalikan kepada para pemilih/rakyat sendiri:

Apakah selama ini rakyat ternyata telah buang-buang suara?

19/01/2020

*Andre Vincent Wenas*, Sekjen *Kawal Indonesia* - Komunitas Anak Bangsa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun